Kamis, 15 Desember 2011
Marine and Fisheries Photography Competition
Acara ini merupakan salah satu bentuk kompetisi bagi para photografer di Universitas Brawijaya yang ingin menunjukkan karya-karyanya. Tema yang diambil dari acara ini adalah “Keindahan Laut Tropis (Tropical Marine Beauty)”. Acara ini akan dilaksankan pada tanggal 16 Desember 2011 dan pengumpulan karya pada tanggal 12 Januari 2012.
Persyaratan yang diperlukan :
1. Karya merupakan karya asli peserta dan belum pernah dipublikasikan.
2. Setiap peserta maksimal mengirimkan 2 karya dan soft file (JPEG) dalam bentuk CD-R.
3. Peserta merupakan mahasiswa aktif Universitas Brawijaya (fotocopy KTM 1 Lembar).
4. Karya harus sesuai dengan tema dan disertakan Judul foto, deskripsi tempat, dan deskripsi foto.
5. Membayar uang pendaftaran sebesar Rp 60.000,-.
6. Pemenang diumumkan pada tanggal 25 Januari 2012.
7. Karya yang masuk akan menjadi hak karya panitia.
8. Keputusan panitia tidak dapat diganggu gugat.
Para pemenang akan mendapatkan hadiah uang tunai dengan total jutaan rupiah beserta medali dan sertifikat.
Untuk keterangan lebih lanjut dapat langsung mengunjungi stand kami di Perpustakaan Pusat Brawijaya pada tanggal 16 Desember 2011 – 25 Desember 2011, atau dapat menghubungi nomer berikut :
Nurdin (0857-5533-3237)
Faridz (0857-3184-6525)
Untuk pendaftaran bisa didownload diSINI,..!!
Minggu, 04 Desember 2011
Artefak Kapal Karam di Laut Karibia
vivanews.com Tim ekspedisi Deeptrek berhasil mengangkat sejumlah artefak yang diduga peninggalan perang antara armada Inggris melawan pasukan penakluk Spanyol di perairan Karibia di Portobelo, Panama. Dua kapal yang karam di lokasi tersebut kemungkinan adalah armada yang bertempur di bawah komando Laksamana Muda Sir Francis Drake sebelum dia meninggal pada 1596.
Seorang anggota tim Deeptrek menyelam di dekat puing-puing kapal karam di Portobelo, Panama, Sabtu (29/10/2011). Foto: REUTERS/ Rico Oldfield/ Deeptrek-IMDI Eco Olas
Presiden Deeptrek, Jay Usher, memperlihatkan kepala kapak milik pasukan penakluk Spanyol yang ditemukan di sisa-sisa kapal karam di Panama, Selasa (01/11/2011). Foto: REUTERS/ Sean Mattson
Seorang anggota tim Deeptrek menyelam di dekat puing-puing kapal karam di Portobelo, Panama, Sabtu (29/10/2011). Foto: REUTERS/ Rico Oldfield/ Deeptrek-IMDI Eco Olas
Presiden Deeptrek, Jay Usher, memperlihatkan potongan baju besi milik pasukan Spanyol yang ditemukan di sisa-sisa kapal karam di Panama, Selasa (01/11/2011). Foto: REUTERS/ Sean Mattson
Arkeolog James Sinclair mengukur jarak antara lokasi puing-puing kapal karam dari pantai Karibia, Rabu (19/10/2011). Foto: REUTERS/ Rico Oldfield/ Deeptrek-IMDI Eco Olas
Seorang anggota tim Deeptrek menyelam di dekat puing-puing kapal karam di Portobelo, Panama, Sabtu (29/10/2011). Foto: REUTERS/ Rico Oldfield/ Deeptrek-IMDI Eco Olas
Presiden Deeptrek, Jay Usher, memperlihatkan kepala kapak milik pasukan penakluk Spanyol yang ditemukan di sisa-sisa kapal karam di Panama, Selasa (01/11/2011). Foto: REUTERS/ Sean Mattson
Seorang anggota tim Deeptrek menyelam di dekat puing-puing kapal karam di Portobelo, Panama, Sabtu (29/10/2011). Foto: REUTERS/ Rico Oldfield/ Deeptrek-IMDI Eco Olas
Presiden Deeptrek, Jay Usher, memperlihatkan potongan baju besi milik pasukan Spanyol yang ditemukan di sisa-sisa kapal karam di Panama, Selasa (01/11/2011). Foto: REUTERS/ Sean Mattson
Arkeolog James Sinclair mengukur jarak antara lokasi puing-puing kapal karam dari pantai Karibia, Rabu (19/10/2011). Foto: REUTERS/ Rico Oldfield/ Deeptrek-IMDI Eco Olas
Letusan Krakatau dalam Catatan
KOMPAS.com — Saat letusan Gunung Krakatau tahun 1883, teknik pendokumentasian canggih seperti sekarang belum ada. Sekalipun seismograf mulai dikembangkan, belum ada jaringan yang mendunia, apalagi seismograf yang beroperasi dalam radius 5.000 kilometer dari Krakatau ataupun teknologi satelit.
Rekaman suara, seperti telepon dan radio, telah ditemukan, tetapi belum digunakan di belahan timur dunia. Teknologi film sudah lahir, tetapi belum fleksibel dan mudah dibawa seperti saat ini. Keterbatasan ini membuat dokumentasi melalui tulisan lebih banyak tersedia. Korespondensi, jurnal, dan berita koran merupakan rekaman utama peristiwa letusan Krakatau.
Catatan-catatan dikumpulkan oleh Tom Simkin dan Richard S Fiske dalam bukunya, Krakatau 1883: The Volcanic Eruption and Its Effects. Sementara satu-satunya tulisan pribumi tentang letusan itu termuat dalam "Syair Lampung Karam" yang dialihaksarakan Suryadi Sunuri. Berikut beberapa ringkasan catatan tersebut.
Catatan Kapten Johan Lindeman yang membawa Kapal Governor General Loudon melalui Selat Sunda. Kapal berangkat dari Batavia membawa rombongan sebanyak 86 penumpang menuju Krakatau.
Minggu, 26 Agustus 1883, kapal mulai dihujani abu dan batu apung. Angin mulai bertiup kencang dan kapal berjuang melewati Krakatau, lalu melepas jangkar di dekat Teluk Betung, Lampung. Senin, 27 Agustus, sekitar pukul 7 terlihat gelombang besar yang kemudian tumpah dan menyapu daratan. Dengan tenaga uap, kapal menuju Anyer, sementara hujan lumpur dan abu membuat lapisan tebal dan orang sulit bernapas. Suasana semakin gelap, dan pukul 10.30 pagi kegelapan total segelap malam menyelimuti. Disusul angin topan dan gelombang tinggi setinggi surga (langit) dan membuat orang-orang khawatir bakal terkubur gelombang, namun kapal terus melaju dengan kepala kapal menghadap ke gelombang. Sore hari, angin mereda. Kegelapan menyelimuti hingga subuh pukul 4 keesokan harinya, 28 Agustus. Hari itu, sekitar pukul 6.50 sore, sampai dengan selamat di Teluk Bantam. Dalam perjalanan pulang itu, terlihat bagian tengah Krakatau telah menghilang.
Laporan koran Java Bode. Senin 27 Agustus 1883, tiba-tiba, sekitar pukul 9, langit menjadi gelap. Orang-orang tidak bisa melihat dalam jarak dekat dan lilin-lilin pun dinyalakan. Abu mulai berjatuhan, sementara langit di bagian barat tampak cahaya kekuningan. Telegram pertama diterima dari Serang yang mengabarkan letusan Krakatau. Letusannya terdengar dan pijaran apinya terlihat pada malam hari di Serang. 28 Agustus 1883, dari Serang datang kabar kondisi hujan abu dan korban jiwa di Anyer.
GF Tydemann adalah seorang letnan kapal perang Koningin Emma der Nederlander. Tydemann menceritakan kedatangan tsunami. Pukul 9.30 pagi, kegelapan mulai menyelimuti. Tekanan udara di dalam kapal berubah drastis, menimbulkan tekanan aneh di telinga. Sementara itu, hujan abu semakin tebal. Bukan tekanan angin ternyata, melainkan tekanan air yang mengganggu kapal hingga pukul 12.00 siang. Air mulai naik dengan cepat sebelum sore hari. Begitu cepat dan tingginya sehingga segera menyapu bagian atas dermaga. Dan tiba-tiba air bergulung menuju permukiman, dari sana terdengar teriakan dan tangis ketakutan. Orang-orang dalam paniknya berusaha memanjat apa pun yang mengambang, ke kapal-kapal di dermaga, kapal uap pemerintah Siak, dan akhirya juga ke kapal Tydemann.
Satu-satunya kesaksian pribumi ditulis Muhammad Saleh dalam bentuk "Syair Lampung Karam". Ahli filologi dan dosen/peneliti di Universitas Leiden, Suryadi Sunuri, mengalihaksarakan naskah yang aslinya ditulis dalam bahasa Arab-Melayu (Jawi). Setelah meneliti syair itu, Suryadi berpendapat, pengarang menulis syair itu di Kampung Bengkulu yang kemudian dikenal sebagai Bencoolen Street di Singapura. Muhammad Saleh menyatakan datang dari Tanjung Karang, Lampung, dan mengaku menyaksikan langsung malapetaka akibat letusan Krakatau. Boleh jadi Saleh mengungsi ke Singapura lantaran bencana itu. Berikut penggalan syairnya yang menceritakan kedahsyatan letusan Krakatau:
….
Di dalam hal demikian peri,
Berbunyi meriam tiga kali,
Kerasnya itu tidak terperi,
Bertambah gentar seisi negeri.
Isi negeri sangat ketakutan,
Kerasnya bunyinya tiada tertahan,
Turunlah angin sertanya hujan,
Mengadang mata umat sekalian
Banyaklah lari membawa hartanya ,
Di dalam perahu, sampan, koleknya,
Dipukul gelombang hilang dianya
Harta, perahu, habis semuanya.
....
Kepiting Berambut Bisa "Bertani" di Laut Dalam
OREGON, KOMPAS.com - Tahun 2006, ilmuwan menemukan spesies kepiting buta yang hidup di celah resapan metana 1.000 meter di bawah permukaan laut Kosta Rica. Dalam publikasi di jurnal PLoS ONE, Rabu (30/11/2011), Andrew Thurber, ilmuwan yang mengidentifikasi, mendeskripsikannya sebagai Kiwa puravida, berarti kehidupan murni.
Spesies itu merupakan spesies kedua dari golongan kepiting yeti, yakni kepiting yang punya lengan-lengan panjang dan berambut. Sebelumnya, ditemukan spesies kepiting putih buta (Kiwa hirsuta) di kedalaman 2.300 meter laut dekat wilayah Easter Island.
Andrew Thurber, peneliti biologi kelautan dari Oregon State University, AS, mengungkapkan bahwa hal yang paling menarik dari Kiwa puravida ialah kemampuannya "bertani". Ini diketahui ilmuwan ketika melakukan pengamatan dengan kamera.
Lengan Kiwa puravida selalu bergerak. Gerakan ternyata bisa mengumpulkan nutrisi, oksigen dan belerang. Akibat gerakan, lengan kepiting pun menjadi wilayah kaya nutrisi, yang lalu menjadi lahan empuk bagi bakteri untuk tumbuh. Kepiting kemudian memanen bakteri yang tumbuh sebagai makanan.
Dengan kemampuan kepiting bertani, Thurber mengatakan, "Kami menunjukkan dengan jelas bahwa spesies ini tidak menggunakan energi dari Matahari sebagai sumber makanan utama. Dia menggunakan energi kimia yang berasal dari dasar lautan."
Salah satu sumber makanan di laut adalah fitoplankton, biota yang hidup dengan berfotosistesis layaknya tumbuhan di darat, membutuhkan sinar matahari. Karena tak memakannya, maka Kiwa puravida tidak membutuhkan energi dari Matahari.
"Penemuan ini menunjukkan betapa sedikitnya kita tahu tentang laut dalam, betapa banyak yang harus kita temukan dan lindungi ketika ekspansi eksploitasi sumber daya telah sampai ke area ini," ungkap Thurder.
Spesies itu merupakan spesies kedua dari golongan kepiting yeti, yakni kepiting yang punya lengan-lengan panjang dan berambut. Sebelumnya, ditemukan spesies kepiting putih buta (Kiwa hirsuta) di kedalaman 2.300 meter laut dekat wilayah Easter Island.
Andrew Thurber, peneliti biologi kelautan dari Oregon State University, AS, mengungkapkan bahwa hal yang paling menarik dari Kiwa puravida ialah kemampuannya "bertani". Ini diketahui ilmuwan ketika melakukan pengamatan dengan kamera.
Lengan Kiwa puravida selalu bergerak. Gerakan ternyata bisa mengumpulkan nutrisi, oksigen dan belerang. Akibat gerakan, lengan kepiting pun menjadi wilayah kaya nutrisi, yang lalu menjadi lahan empuk bagi bakteri untuk tumbuh. Kepiting kemudian memanen bakteri yang tumbuh sebagai makanan.
Dengan kemampuan kepiting bertani, Thurber mengatakan, "Kami menunjukkan dengan jelas bahwa spesies ini tidak menggunakan energi dari Matahari sebagai sumber makanan utama. Dia menggunakan energi kimia yang berasal dari dasar lautan."
Salah satu sumber makanan di laut adalah fitoplankton, biota yang hidup dengan berfotosistesis layaknya tumbuhan di darat, membutuhkan sinar matahari. Karena tak memakannya, maka Kiwa puravida tidak membutuhkan energi dari Matahari.
"Penemuan ini menunjukkan betapa sedikitnya kita tahu tentang laut dalam, betapa banyak yang harus kita temukan dan lindungi ketika ekspansi eksploitasi sumber daya telah sampai ke area ini," ungkap Thurder.
Telur Penyu "Bicara" Sebelum Menetas
SYDNEY, KOMPAS.com — Spesies penyu sungai Australia (Emydura macquarii) meletakkan sekumpulan telur di pasir sungai. Telur yang berada di bawah perkembangannya lebih lambat daripada yang di atas. Namun, telur di kedua bagian itu ternyata menetas bersama.
Ricky-John Spencer dari University of Western Sydney di Australia penasaran dengan fakta tersebut. Ia menduga bahwa telur-telur tersebut "saling bicara" terlebih dahulu sebelum menetas.
Untuk membuktikan dugaannya, ia merancang eksperimen. Spencer membagi sejumlah telur menjadi dua bagian. Satu bagian diinkubasi di suhu lebih yang tinggi, sedangkan bagian lain diinkubasi di suhu lebih yang rendah. Setelah dua pertiga masa perkembangan telur, keduanya lalu disatukan kembali.
Hasil menunjukkan bahwa kedua bagian telur tetap menetas dalam waktu bersamaan. Ketika dipersatukan, telur yang lebih lambat perkembangannya mengejar sehingga bisa menetas di waktu yang sama.
Menurut Spencer, kedua bagian telur itu mungkin berkomunikasi secara kimia. "Telur itu sebenarnya bernapas. Mereka menghirup oksigen dan mengeluarkan CO2," katanya seperti dikutip New Scientist, Rabu (30/11/2011).
Spencer menjelaskan bahwa telur yang lebih cepat perkembangannya akan mengeluarkan CO2 lebih banyak. Konsentrasi CO2 ini yang menjadi semacam "panggilan" sekaligus pemicu agar telur lain lebih cepat berkembang.
Hasil penelitian Spencer dipublikasikan di Proceeding of the Royal Society B edisi terbaru November 2011. Spencer menjelaskan bahwa menetas bersama sangat penting bagi kesintasan penyu. Hal itu akan memastikan individu yang rentan terlindungi dari predator. Mereka memiliki teman yang melindungi.
Ricky-John Spencer dari University of Western Sydney di Australia penasaran dengan fakta tersebut. Ia menduga bahwa telur-telur tersebut "saling bicara" terlebih dahulu sebelum menetas.
Untuk membuktikan dugaannya, ia merancang eksperimen. Spencer membagi sejumlah telur menjadi dua bagian. Satu bagian diinkubasi di suhu lebih yang tinggi, sedangkan bagian lain diinkubasi di suhu lebih yang rendah. Setelah dua pertiga masa perkembangan telur, keduanya lalu disatukan kembali.
Hasil menunjukkan bahwa kedua bagian telur tetap menetas dalam waktu bersamaan. Ketika dipersatukan, telur yang lebih lambat perkembangannya mengejar sehingga bisa menetas di waktu yang sama.
Menurut Spencer, kedua bagian telur itu mungkin berkomunikasi secara kimia. "Telur itu sebenarnya bernapas. Mereka menghirup oksigen dan mengeluarkan CO2," katanya seperti dikutip New Scientist, Rabu (30/11/2011).
Spencer menjelaskan bahwa telur yang lebih cepat perkembangannya akan mengeluarkan CO2 lebih banyak. Konsentrasi CO2 ini yang menjadi semacam "panggilan" sekaligus pemicu agar telur lain lebih cepat berkembang.
Hasil penelitian Spencer dipublikasikan di Proceeding of the Royal Society B edisi terbaru November 2011. Spencer menjelaskan bahwa menetas bersama sangat penting bagi kesintasan penyu. Hal itu akan memastikan individu yang rentan terlindungi dari predator. Mereka memiliki teman yang melindungi.
Jumat, 28 Oktober 2011
How Spooky Deep-Sea Creatures
Source: Livescience.com
Crimson Jellyfish
Credit: Edith A. Widder |
Operation Deep Scope 2005 Exploration | NOAA-OE | NOAAA deep-sea jellyfish, the blood-red Atolla wyvillei emits a spooky blue light when it is threatened by a predator. Its bioluminescent light flashes in a hypnotic, rotating pinwheel pattern around its body.
Eerie Anglerfish
Credit: Jared Benney | flickr.com
The terrifyingly toothy anglerfish became a common occurrence in little kids' nightmares ever since it chased Nemo and Dory in Pixar's "Finding Nemo." To attract prey, the scary-looking fish uses a bioluminescent "fishing pole" that hangs just above and in front of its toothy face. The lure is actually a piece of dorsal spine packed with millions of glow-in-the-dark bacteria.
Saber-Toothed Viperfish
Credit:David Csepp | NMFS/AKFSC/ABL | NOAA
The fittingly named viperfish has long, needle-like teeth and hinged lower jaws. This deepwater monster prefers warm tropical waters, where it sinks its fang-like teeth into prey, immobilizing them.
Monstrous Megamouth Shark
Credit: NOAA
The megamouth shark, shown here, is an extremely rare species of deepwater shark. The megamouth swims with its mouth wide open, catching and sucking in fish and krill as it glides along. Its massive mouth extends past its eyes and is equipped with about 50 rows of small, sharp teeth on each jaw.
Halloween Holothurians
Credit:Nikita Tiunov | shutterstock
Not all species of sea cucumbers (Holothurians) look like, well, cucumbers. Some species, which have swaying branch-like tentacles on one end of their long bodies, more closely resemble a chubby stalk of broccoli. Above is a colorful shot of a purple and orange-colored sea cucumber with its tentacles spread out.
The Blackdragon Fish
Credit:Dr. Julian Finn, Museum Victoria
Another bottom-dwelling bioluminescent creature, the blackdragon fish has light-emitting organs arranged all along its belly to fool predators by changing its silhouette. The spooky fish also has bioluminescencant "flashlights" next to each eye that it can flash on while on the look-out for prey or to signal potential mates. As you can see in the above photo, the blackdragon fish is so toothy that even its tongue has razor-sharp teeth.
Armored Searobin
Credit:bio.umass.edu
Found in deep tropical waters around the world, the coral-red armored searobins have bodies encased in heavy scales. They also possess prominent spines, with barbels on their chins for luring in unsuspecting prey.
Vampire Squid
Credit:2004 MBARI
Despite its terrifying name, the vampire squid is relatively tiny, reaching a maximum of 6 inches (15.4 cm) in length. It gets its name from its red coloring, glowing, bioluminescent eyes and the cloak-like webbing that connects its eight arms. Although it has similarities with both squid and octopuses, it is actually not a squid but in its own separate family, of which it is the last remaining member; as such, the animal is referred to as a "living fossil." Its scientific name, Vampyroteuthis infernalis, literally translates to "vampire squid from hell." Yikes.
Frightening Fangtooth
Credit: Joel E. Van Noord
Named for its long, vampire-like teeth the fangtooth fish inhabits the extreme deep waters of the ocean. In proportion to its body size, it has some of the largest teeth of any fish. Although it may look scary, the endangered fangtooth only grows to about 6 inches (16 cm) in length.
Coffinfish
Credit:New Zealand-American Submarine
Ring of Fire 2005 Exploration | NOAA Vents Program The cryptically named coffinfish more resembles a colorful autumn gourd than a casket. The scowling fish can often be found resting on the bottom of the ocean, using its tiny fins like legs to prop itself up.
Skeletal Jellyfish
Credit: NOAA Ocean Explorer
The deep-sea Aequorea, or crystal jellyfish, has a translucent body and long tentacles that give it a ghostly appearance. A jellyfish's tentacles, which trail after its body, can be less than an inch to120 feet (30.48 meters) long.v
Life In the Shadowy Depths
Credit: U.S. Antarctic Program Photo Library
From frightful fangtooth fish and vampire squid to coffinfish and spiky, sinister sea urchins, plenty of strange and scary creatures lurk in the dark, cold depths of the ocean ... Be brave and dive on in!
Scary Stargazer
Credit: Levent Konuk | shutterstock
This frightening fish is charmingly named stargazer, because its eyes are situated on top of its head. The fish burrows its flat body underneath the sand, hiding itself so that it is still able to peek out. It then hunkers down waiting to strike if prey swims by. Although many stargazers dwell in shallow water, Northern stargazers live in the deep waters off the Atlantic Coast.
Crimson Jellyfish
Credit: Edith A. Widder |
Operation Deep Scope 2005 Exploration | NOAA-OE | NOAAA deep-sea jellyfish, the blood-red Atolla wyvillei emits a spooky blue light when it is threatened by a predator. Its bioluminescent light flashes in a hypnotic, rotating pinwheel pattern around its body.
Eerie Anglerfish
Credit: Jared Benney | flickr.com
The terrifyingly toothy anglerfish became a common occurrence in little kids' nightmares ever since it chased Nemo and Dory in Pixar's "Finding Nemo." To attract prey, the scary-looking fish uses a bioluminescent "fishing pole" that hangs just above and in front of its toothy face. The lure is actually a piece of dorsal spine packed with millions of glow-in-the-dark bacteria.
Saber-Toothed Viperfish
Credit:David Csepp | NMFS/AKFSC/ABL | NOAA
The fittingly named viperfish has long, needle-like teeth and hinged lower jaws. This deepwater monster prefers warm tropical waters, where it sinks its fang-like teeth into prey, immobilizing them.
Monstrous Megamouth Shark
Credit: NOAA
The megamouth shark, shown here, is an extremely rare species of deepwater shark. The megamouth swims with its mouth wide open, catching and sucking in fish and krill as it glides along. Its massive mouth extends past its eyes and is equipped with about 50 rows of small, sharp teeth on each jaw.
Halloween Holothurians
Credit:Nikita Tiunov | shutterstock
Not all species of sea cucumbers (Holothurians) look like, well, cucumbers. Some species, which have swaying branch-like tentacles on one end of their long bodies, more closely resemble a chubby stalk of broccoli. Above is a colorful shot of a purple and orange-colored sea cucumber with its tentacles spread out.
The Blackdragon Fish
Credit:Dr. Julian Finn, Museum Victoria
Another bottom-dwelling bioluminescent creature, the blackdragon fish has light-emitting organs arranged all along its belly to fool predators by changing its silhouette. The spooky fish also has bioluminescencant "flashlights" next to each eye that it can flash on while on the look-out for prey or to signal potential mates. As you can see in the above photo, the blackdragon fish is so toothy that even its tongue has razor-sharp teeth.
Armored Searobin
Credit:bio.umass.edu
Found in deep tropical waters around the world, the coral-red armored searobins have bodies encased in heavy scales. They also possess prominent spines, with barbels on their chins for luring in unsuspecting prey.
Vampire Squid
Credit:2004 MBARI
Despite its terrifying name, the vampire squid is relatively tiny, reaching a maximum of 6 inches (15.4 cm) in length. It gets its name from its red coloring, glowing, bioluminescent eyes and the cloak-like webbing that connects its eight arms. Although it has similarities with both squid and octopuses, it is actually not a squid but in its own separate family, of which it is the last remaining member; as such, the animal is referred to as a "living fossil." Its scientific name, Vampyroteuthis infernalis, literally translates to "vampire squid from hell." Yikes.
Frightening Fangtooth
Credit: Joel E. Van Noord
Named for its long, vampire-like teeth the fangtooth fish inhabits the extreme deep waters of the ocean. In proportion to its body size, it has some of the largest teeth of any fish. Although it may look scary, the endangered fangtooth only grows to about 6 inches (16 cm) in length.
Coffinfish
Credit:New Zealand-American Submarine
Ring of Fire 2005 Exploration | NOAA Vents Program The cryptically named coffinfish more resembles a colorful autumn gourd than a casket. The scowling fish can often be found resting on the bottom of the ocean, using its tiny fins like legs to prop itself up.
Skeletal Jellyfish
Credit: NOAA Ocean Explorer
The deep-sea Aequorea, or crystal jellyfish, has a translucent body and long tentacles that give it a ghostly appearance. A jellyfish's tentacles, which trail after its body, can be less than an inch to120 feet (30.48 meters) long.v
Life In the Shadowy Depths
Credit: U.S. Antarctic Program Photo Library
From frightful fangtooth fish and vampire squid to coffinfish and spiky, sinister sea urchins, plenty of strange and scary creatures lurk in the dark, cold depths of the ocean ... Be brave and dive on in!
Scary Stargazer
Credit: Levent Konuk | shutterstock
This frightening fish is charmingly named stargazer, because its eyes are situated on top of its head. The fish burrows its flat body underneath the sand, hiding itself so that it is still able to peek out. It then hunkers down waiting to strike if prey swims by. Although many stargazers dwell in shallow water, Northern stargazers live in the deep waters off the Atlantic Coast.
Makhluk Aneh Ditemukan di Palung Mariana
Yunanto Wiji Utomo | A. Wisnubrata | Senin, 24 Oktober 2011 | 09:10 WIB
From: Kompas.com
KOMPAS.com — Ilmuwan dari Scripps Institute of Oceanography di University California San Diego menemukan makhluk hidup aneh di Palung Mariana, bagian lautan paling dalam di Bumi. Makhluk hidup aneh tersebut berupa amoeba raksasa, secara ilmiah disebut xenophyophores, ditemukan di kedalaman sekitar 10,5 km di bawah permukaan laut.
"Amoeba raksasa yang mengagumkan itu bisa beradaptasi dengan sangat baik di lingkungan ekstrem, tetapi pada saat yang sama sangat rentan dan tidak banyak dipelajari," kata Lisa Levin, biolog Laut Dalam yang juga Direktur Scripps Center for Marine Biodiversity and Conservation.
Levin menjelaskan, xenophyophores adalah salah satu individu satu sel terbesar, kadang bisa tumbuh hingga 10 cm. Studi terkini mengindikasikan, dengan menjebak partikel dalam air, xenophyophores bisa mengakumulasikan timbal, uranium, dan merkuri sehingga dianggap resisten terhadap logam berat.
Diketahui, xenophyophores sangat cocok hidup di tempat yang gelap, dingin, dan bertekanan tinggi seperti di kedalaman lautan. "Identifikasi sel raksasa di lingkungan laut terdalam ini membuka habitat baru bagi studi biodiversitas dan adaptasi lingkungan ekstrem," kata Levin seperti dikutip Foxnews, Jumat (21/10/2011).
Untuk bisa menemukan makhluk hidup ini, Levin bekerja sama dengan Eric Berkenpas dan Graham Wilhelm, insinyur pencitraan daerah sulit terjangkau dari National Geographic Society. Mereka menggunakan peralatan yang disebut "dropcams", terdiri dari kamera HD dan lampu yang berada di dalam bahan gelas. Peralatan ini mampu bertahan di lingkungan laut yang bertekanan tinggi.
From: Kompas.com
KOMPAS.com — Ilmuwan dari Scripps Institute of Oceanography di University California San Diego menemukan makhluk hidup aneh di Palung Mariana, bagian lautan paling dalam di Bumi. Makhluk hidup aneh tersebut berupa amoeba raksasa, secara ilmiah disebut xenophyophores, ditemukan di kedalaman sekitar 10,5 km di bawah permukaan laut.
"Amoeba raksasa yang mengagumkan itu bisa beradaptasi dengan sangat baik di lingkungan ekstrem, tetapi pada saat yang sama sangat rentan dan tidak banyak dipelajari," kata Lisa Levin, biolog Laut Dalam yang juga Direktur Scripps Center for Marine Biodiversity and Conservation.
Levin menjelaskan, xenophyophores adalah salah satu individu satu sel terbesar, kadang bisa tumbuh hingga 10 cm. Studi terkini mengindikasikan, dengan menjebak partikel dalam air, xenophyophores bisa mengakumulasikan timbal, uranium, dan merkuri sehingga dianggap resisten terhadap logam berat.
Diketahui, xenophyophores sangat cocok hidup di tempat yang gelap, dingin, dan bertekanan tinggi seperti di kedalaman lautan. "Identifikasi sel raksasa di lingkungan laut terdalam ini membuka habitat baru bagi studi biodiversitas dan adaptasi lingkungan ekstrem," kata Levin seperti dikutip Foxnews, Jumat (21/10/2011).
Untuk bisa menemukan makhluk hidup ini, Levin bekerja sama dengan Eric Berkenpas dan Graham Wilhelm, insinyur pencitraan daerah sulit terjangkau dari National Geographic Society. Mereka menggunakan peralatan yang disebut "dropcams", terdiri dari kamera HD dan lampu yang berada di dalam bahan gelas. Peralatan ini mampu bertahan di lingkungan laut yang bertekanan tinggi.
Pohon Evolusi Mollusca Berhasil Dibuat
Yunanto Wiji Utomo | Tri Wahono | Jumat, 28 Oktober 2011 | 21:31 WI
From: Kompas.com
KOMPAS.com - Casey Dunn, pakar evolusi dari Brown University, AS, berhasil mengembangkan pohon evolusi mollusca atau hewan bertubuh lunak. Pohon evolusi adalah suatu bagan yang menunjukkan relasi antara satu spesies dengan spesies lainnya secara evolusioner.
Pohon evolusi mollusca yang berhasil dikembangkan itu menjadi gambaran kekerabatan mollusca pertama yang paling lengkap dan dipublikasikan di Jurnal Nature. Untuk mengembangkan pohon evolusi itu, Cunn mengambil sampel beragam jenis mollusca. Selanjutnya, tim menganalisa susunan gen pada tiap spesies dan membandingkannya satu sama lain.
Hasil studi ini telah menempatkan golongan mollusca laut dalam yang disebut Monoplacophora. Jenis ini sebelumnya diduga punah hingga ditemukan pada tahun 1952 di pantai Meksiko. Studi jenis Monoplacophora dilakukan dengan spesimen yang ditangkap selama ekspedisi tahun 2007 oleh tim yang dipimpin oleh Nerida Wilson, juga tergabung dalam penelitian ini.
Setelah ekstraksi DNA, tim mendapatkan hasil bahwa Monoplacophora memiliki kekerabatan dengan grup mollusca yang disebut Cephalopoda, meliputi gurita dan cumi-cumi. "Cephalopoda sangat berbeda dengan mollusca lain, sangat sulit dimengerti bagaimana mereka bisa memiliki kekerabatan. Mereka berbeda dengan yang lainnya," ungkap Dunn.
Cephalopoda secara umum adalah jenis mollusca yang memiliki kaki di kepala dan tidak memiliki cangkang. Beberapa cephalopoda memiliki kantung tinta dan tentakel.
"Sekarang kita mengetahui bahwa ada dua grup paling berbeda dalam mollusca ternyata bersaudara," ungkap Dunn seperti dikutip situs ScienceDaily, Rabu (26/10/2011).
Berdasarkan hasil penelitian, ilmuwan juga mengungkapkan bahwa spesies yang tergabung dalam grup Cephalopoda atau Monoplacophora mungkin adalah nenek moyang mollusca, meski belum diketahui jenisnya.
Penelitian ini merupakan hasil kolaborasi dari banyak pihak. Selain Brown University, pihak lain yang terlibat adalah Harvard University dan Australia Museum.
From: Kompas.com
KOMPAS.com - Casey Dunn, pakar evolusi dari Brown University, AS, berhasil mengembangkan pohon evolusi mollusca atau hewan bertubuh lunak. Pohon evolusi adalah suatu bagan yang menunjukkan relasi antara satu spesies dengan spesies lainnya secara evolusioner.
Pohon evolusi mollusca yang berhasil dikembangkan itu menjadi gambaran kekerabatan mollusca pertama yang paling lengkap dan dipublikasikan di Jurnal Nature. Untuk mengembangkan pohon evolusi itu, Cunn mengambil sampel beragam jenis mollusca. Selanjutnya, tim menganalisa susunan gen pada tiap spesies dan membandingkannya satu sama lain.
Hasil studi ini telah menempatkan golongan mollusca laut dalam yang disebut Monoplacophora. Jenis ini sebelumnya diduga punah hingga ditemukan pada tahun 1952 di pantai Meksiko. Studi jenis Monoplacophora dilakukan dengan spesimen yang ditangkap selama ekspedisi tahun 2007 oleh tim yang dipimpin oleh Nerida Wilson, juga tergabung dalam penelitian ini.
Setelah ekstraksi DNA, tim mendapatkan hasil bahwa Monoplacophora memiliki kekerabatan dengan grup mollusca yang disebut Cephalopoda, meliputi gurita dan cumi-cumi. "Cephalopoda sangat berbeda dengan mollusca lain, sangat sulit dimengerti bagaimana mereka bisa memiliki kekerabatan. Mereka berbeda dengan yang lainnya," ungkap Dunn.
Cephalopoda secara umum adalah jenis mollusca yang memiliki kaki di kepala dan tidak memiliki cangkang. Beberapa cephalopoda memiliki kantung tinta dan tentakel.
"Sekarang kita mengetahui bahwa ada dua grup paling berbeda dalam mollusca ternyata bersaudara," ungkap Dunn seperti dikutip situs ScienceDaily, Rabu (26/10/2011).
Berdasarkan hasil penelitian, ilmuwan juga mengungkapkan bahwa spesies yang tergabung dalam grup Cephalopoda atau Monoplacophora mungkin adalah nenek moyang mollusca, meski belum diketahui jenisnya.
Penelitian ini merupakan hasil kolaborasi dari banyak pihak. Selain Brown University, pihak lain yang terlibat adalah Harvard University dan Australia Museum.
Kamis, 06 Oktober 2011
Dari Kiat Hidup Hijau hingga Memancing Oksigen
KOMPAS.com — Kompetisi E-Idea yang diselenggarakan British Council mempertemukan 7 negara untuk mencari permasalahan seputar lingkungan di negara masing-masing dan berusaha mencari solusinya. Setelah melalui proses penjurian di masing-masing negara, ketujuh negara tersebut memiliki pemenang masing-masing yang kemudian dipertemukan di Jakarta. Ketujuh negara adalah Indonesia, Thailand, Vietnam, Australia, Jepang, China, dan Korea.
Pameran E-idea yang berjumlah 40 karya dipamerkan di Hotel Shangri La, Jakarta, Rabu (5/10/2011) ini. Di antara beragam karya inovatif dari Thailand ada enam karya, dari kiat hidup hijau sampai cara memancing oksigen. Berikut adalah inovasi yang dimiliki para pemenang dari Thailand.
Pertama adalah Chontira Thipaksorn yang mengangkat cara mudah hidup hijau. Peraih Msc di bidang Postharvest Technology dari Chiangmai University ini bekerja di Northern Development Foundation. Dengan latar belakang kota Chiang Mai yang memiliki tingkat polusi tertinggi di Utara Thailand, Chontira membuat mesin serupa alat pengurai sampah makanan, sehingga warga tak perlu tergantung dengan teknologi. Alat ini mengolah sampah organik menjadi pupuk organik untuk tanah dan tanaman. Langkah ini diharapkan bisa meningkatkan kebersihan di tingkat rumah tangga sekaligus mempromosikan konsep pengelolaan sampah.
Kedua adalah Kanadej Thamanoonragsa yang membuat Pertanian Kota Urbie. Kanadej bekerja di Alpha Capital, yang bergerak di bidang energy terbarukan. Ia mengidamkan Bangkok menjadi sebuah kota yang terkenal dengan pertanian di tengah kota. Ia membangun komunitas di tengah kota untuk menambah area-area hijau di tembok, atap, dan taman. Nantinya komunitas yang terlibat juga bosa menikmati hasil pertanian segar dan menambah pendapatan mereka. Para petani kota bisa berkomunikasi melalui dunia maya dan juga bertatap muka untuk menjual produk pertanian, sekaligus memperkaya pengetahuan soal kemampuan produksi, penjualan, dan pendapatan.
Ketiga adalah Jantima Pipitsoontom yang melakukan pemilahan sampah dan daur ulang biowaste. Lulusan biokimia dari Chulangkom University ini mengelola sampah dengan menjalin kerja sama dengan pemerintah, sekolah, komunitas masyarakat, dan bisnis pariwisata. Pemilahan sampah dipromosikan lewat bak-bak sampah, dimana turis juga diajak berpartisipasi, dengan ikut memilah sampah. Setelah itu, akan dibangun Learning Center of Biowaste Recycling dimana sampah yang telah dipilah akan dioleh dengan teknik biowaste.
Keempat adalah Saengabha yang membuat Pemanas Kreatif untuk Papan Partikel. Sarjana Sosial dari Mahidol University ini bergabung dengan perusahaan Kokoboard yang membuat particle board dari sampah pertanian. Perusahaan ini sudah membuat 5 macam particle board dari aneka sampah atau produk turunan pertanian, seperti gabah, biji bunga matahari, sekam, dan sabut kelapa. Dengan teknologi yang tepat, lini produksi particle board bisa dipastikan memakai energy yang bersih, sehingga produk yang dihasilkan betul-betul ramah lingkungan. Caranya adalah dengan membuat biogas dari strawboard chips sebagai bahan bakar bagi proses produksi papan partikel. Jika penggunaan mesin bahan bakar dikurangi, maka bisa memperkecil nilai investasi serta mengurangi jejak karbon. Penggunaan papan partikel secara umum diharapkan bisa menahan laju deforestasi serta memperpanjang umur hutan bagi generasi selanjutnya.
Kelima adalah Khwankhao Sinhanseni, pengusaha sosial yang membuat Pupuk Organik Keaw Suay Homm. Khwankhao adalah anggota proyek lingkungan di kota Chiang Mai. Proyek yang disebut Keaw Suay Homm ini mempromosikan konservasi alam lewat perusahaan social “Pupuk Keaw Suay Homm”. Polusi sampah organic menjadi salah satu persoalan lingkungan utama di kota Chiang Mai. Sebanyak 40 persen dari total sampah di Chiang Mai adalah sampah organic. Lewat proyek ini, sampah organic akan diubah menjadi pupuk organic. Sampah diambil petugas kota dari rumah-rumah warga, sementara perusahaan swasta dilibatkan untuk produksi pupuk. Sampah diolah menjadfi pupuk organic dengan menggunakan sistem penyaringan udara. Pupuk kemudian dijual dan hasilnya bisa digunakan untuk mendirikan pusat pendidikan di tengah kota.
Keenam adalah Sudarat Chomroong yang memancing oksigen dengan spesies antagonis trichoderma pada hutan bakau. Sudarat saat ini masih menjadi mahasiswa biologi di Rajamangala University of Technology Thanyaburi. Untuk mengurangi pemanasan global, langkah harus difokuskan pada penyebab utamanya, yakni banyaknya karbondioksida di atmosfer. Proyek yang dikembangkan Sudarat akan memancing hadirnya oksigen dengan menggunakan spesies antagonis spawn trichoderma di hutan bakau. Jamur ini bisa meningkatkan daya tahan dan kekebalan hutan bakau. Jamur akan diolah ke dalam bentuk pupuk tablet yang digunakan di hutan-hutan bakau. Dengan pupuk ini, pohon bakau bisa berkembang pesat dengan gaya hidup yang lebih panjang. Bakau diyakini dapat berperan besar dalam mengurangi kadar karbon dioksida di udara. Proyek percobaan akan dilakukan di Provinsi Samutsakorn.
Pameran E-idea yang berjumlah 40 karya dipamerkan di Hotel Shangri La, Jakarta, Rabu (5/10/2011) ini. Di antara beragam karya inovatif dari Thailand ada enam karya, dari kiat hidup hijau sampai cara memancing oksigen. Berikut adalah inovasi yang dimiliki para pemenang dari Thailand.
Pertama adalah Chontira Thipaksorn yang mengangkat cara mudah hidup hijau. Peraih Msc di bidang Postharvest Technology dari Chiangmai University ini bekerja di Northern Development Foundation. Dengan latar belakang kota Chiang Mai yang memiliki tingkat polusi tertinggi di Utara Thailand, Chontira membuat mesin serupa alat pengurai sampah makanan, sehingga warga tak perlu tergantung dengan teknologi. Alat ini mengolah sampah organik menjadi pupuk organik untuk tanah dan tanaman. Langkah ini diharapkan bisa meningkatkan kebersihan di tingkat rumah tangga sekaligus mempromosikan konsep pengelolaan sampah.
Kedua adalah Kanadej Thamanoonragsa yang membuat Pertanian Kota Urbie. Kanadej bekerja di Alpha Capital, yang bergerak di bidang energy terbarukan. Ia mengidamkan Bangkok menjadi sebuah kota yang terkenal dengan pertanian di tengah kota. Ia membangun komunitas di tengah kota untuk menambah area-area hijau di tembok, atap, dan taman. Nantinya komunitas yang terlibat juga bosa menikmati hasil pertanian segar dan menambah pendapatan mereka. Para petani kota bisa berkomunikasi melalui dunia maya dan juga bertatap muka untuk menjual produk pertanian, sekaligus memperkaya pengetahuan soal kemampuan produksi, penjualan, dan pendapatan.
Ketiga adalah Jantima Pipitsoontom yang melakukan pemilahan sampah dan daur ulang biowaste. Lulusan biokimia dari Chulangkom University ini mengelola sampah dengan menjalin kerja sama dengan pemerintah, sekolah, komunitas masyarakat, dan bisnis pariwisata. Pemilahan sampah dipromosikan lewat bak-bak sampah, dimana turis juga diajak berpartisipasi, dengan ikut memilah sampah. Setelah itu, akan dibangun Learning Center of Biowaste Recycling dimana sampah yang telah dipilah akan dioleh dengan teknik biowaste.
Keempat adalah Saengabha yang membuat Pemanas Kreatif untuk Papan Partikel. Sarjana Sosial dari Mahidol University ini bergabung dengan perusahaan Kokoboard yang membuat particle board dari sampah pertanian. Perusahaan ini sudah membuat 5 macam particle board dari aneka sampah atau produk turunan pertanian, seperti gabah, biji bunga matahari, sekam, dan sabut kelapa. Dengan teknologi yang tepat, lini produksi particle board bisa dipastikan memakai energy yang bersih, sehingga produk yang dihasilkan betul-betul ramah lingkungan. Caranya adalah dengan membuat biogas dari strawboard chips sebagai bahan bakar bagi proses produksi papan partikel. Jika penggunaan mesin bahan bakar dikurangi, maka bisa memperkecil nilai investasi serta mengurangi jejak karbon. Penggunaan papan partikel secara umum diharapkan bisa menahan laju deforestasi serta memperpanjang umur hutan bagi generasi selanjutnya.
Kelima adalah Khwankhao Sinhanseni, pengusaha sosial yang membuat Pupuk Organik Keaw Suay Homm. Khwankhao adalah anggota proyek lingkungan di kota Chiang Mai. Proyek yang disebut Keaw Suay Homm ini mempromosikan konservasi alam lewat perusahaan social “Pupuk Keaw Suay Homm”. Polusi sampah organic menjadi salah satu persoalan lingkungan utama di kota Chiang Mai. Sebanyak 40 persen dari total sampah di Chiang Mai adalah sampah organic. Lewat proyek ini, sampah organic akan diubah menjadi pupuk organic. Sampah diambil petugas kota dari rumah-rumah warga, sementara perusahaan swasta dilibatkan untuk produksi pupuk. Sampah diolah menjadfi pupuk organic dengan menggunakan sistem penyaringan udara. Pupuk kemudian dijual dan hasilnya bisa digunakan untuk mendirikan pusat pendidikan di tengah kota.
Keenam adalah Sudarat Chomroong yang memancing oksigen dengan spesies antagonis trichoderma pada hutan bakau. Sudarat saat ini masih menjadi mahasiswa biologi di Rajamangala University of Technology Thanyaburi. Untuk mengurangi pemanasan global, langkah harus difokuskan pada penyebab utamanya, yakni banyaknya karbondioksida di atmosfer. Proyek yang dikembangkan Sudarat akan memancing hadirnya oksigen dengan menggunakan spesies antagonis spawn trichoderma di hutan bakau. Jamur ini bisa meningkatkan daya tahan dan kekebalan hutan bakau. Jamur akan diolah ke dalam bentuk pupuk tablet yang digunakan di hutan-hutan bakau. Dengan pupuk ini, pohon bakau bisa berkembang pesat dengan gaya hidup yang lebih panjang. Bakau diyakini dapat berperan besar dalam mengurangi kadar karbon dioksida di udara. Proyek percobaan akan dilakukan di Provinsi Samutsakorn.
Jumat, 23 September 2011
Sulitnya Menjadi Taksonom di Indonesia
Yunanto Wiji Utomo | Tri Wahono | Selasa, 20 September 2011 | 21:24 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia memerlukan tambahan koleksi rujukan biodiversitas (reference collection). Saat ini, koleksi rujukan paling lengkap yang dimiliki Indonesia baru Museum Zooligicum Bogoriense. Koleksinya pun juga masih terbatas.
"Reference collection ini memang mahal, tapi kita harus punya. Idealnya memang tiap propinsi itu punya. Tapi paling tidak kita punya 5, yang mewakili tiap wilayah, misalnya Sumatera, Jawa dan sebagainya," kata Dr. Siti Nuramaliati Prijono, Kepala P2 Biologi LIPI.
Salah satu manfaat yang bisa diperoleh dengan memiliki koleksi rujukan adalah mengetahui jumlah spesies di suatu wilayah. Dengan punya koleksi rujukan, pemantauan terhadap hilangnya suatu spesies dari lingkungan tertentu akan lebih mudah dilakukan.
"Contohnya kita bisa tahu bahwa 90 persen biodiversitas di Ciliwung itu hilang kan karena kita membandingkan dengan reference collection. Kita lihat dari museum di Bogor dan Leiden untuk mengetahui itu," jelas Nuramaliati yang akrab disapa Lili.
Manfaat lainnya, menurut Lili, adalah kemudahan bagi para taksonom untuk mengakses bahan untuk penelitian. Selama ini, untuk mengakses holotype suatu spesies, kadang taksonom harus pergi ke reference collection di luar negeri, menghabiskan biaya yang tak sedikit. Masa untuk melacak keanekaragaman hayati atau biodiversity di Indonesia harus ke luar negeri?
Lili mengungkapkan, reference collection tambahan nantinya bisa dikelola siapapun, misalnya kalangan universitas. Hal utama adalah memastikan bahwa setiap pengelola memiliki komitmen untuk mengelolanya secara berkelanjutan.
"Yang terpenting adalah komitmen. Jangan sampai nanti pemimpinnya ganti lalu bilang, buat apa ini, hanya menghabiskan biaya," kata Lili saat ditemui di acara Kongres dan Seminar Taksonomi Kelautan Indonesia I di Jakarta hari ini, Selasa (20/9/2011).
Tentang koleksi spesimen sendiri, saat ini masih harus ditambah. Jumlah koleksi spesies laut, termasuk yang ada di Museum Zoologi Bogor masih sangat minim. Eksplorasi biodiversitas laut masih harus dilakukan untuk menginventarisasi spesies-spesies yang ada.
JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia memerlukan tambahan koleksi rujukan biodiversitas (reference collection). Saat ini, koleksi rujukan paling lengkap yang dimiliki Indonesia baru Museum Zooligicum Bogoriense. Koleksinya pun juga masih terbatas.
"Reference collection ini memang mahal, tapi kita harus punya. Idealnya memang tiap propinsi itu punya. Tapi paling tidak kita punya 5, yang mewakili tiap wilayah, misalnya Sumatera, Jawa dan sebagainya," kata Dr. Siti Nuramaliati Prijono, Kepala P2 Biologi LIPI.
Salah satu manfaat yang bisa diperoleh dengan memiliki koleksi rujukan adalah mengetahui jumlah spesies di suatu wilayah. Dengan punya koleksi rujukan, pemantauan terhadap hilangnya suatu spesies dari lingkungan tertentu akan lebih mudah dilakukan.
"Contohnya kita bisa tahu bahwa 90 persen biodiversitas di Ciliwung itu hilang kan karena kita membandingkan dengan reference collection. Kita lihat dari museum di Bogor dan Leiden untuk mengetahui itu," jelas Nuramaliati yang akrab disapa Lili.
Manfaat lainnya, menurut Lili, adalah kemudahan bagi para taksonom untuk mengakses bahan untuk penelitian. Selama ini, untuk mengakses holotype suatu spesies, kadang taksonom harus pergi ke reference collection di luar negeri, menghabiskan biaya yang tak sedikit. Masa untuk melacak keanekaragaman hayati atau biodiversity di Indonesia harus ke luar negeri?
Lili mengungkapkan, reference collection tambahan nantinya bisa dikelola siapapun, misalnya kalangan universitas. Hal utama adalah memastikan bahwa setiap pengelola memiliki komitmen untuk mengelolanya secara berkelanjutan.
"Yang terpenting adalah komitmen. Jangan sampai nanti pemimpinnya ganti lalu bilang, buat apa ini, hanya menghabiskan biaya," kata Lili saat ditemui di acara Kongres dan Seminar Taksonomi Kelautan Indonesia I di Jakarta hari ini, Selasa (20/9/2011).
Tentang koleksi spesimen sendiri, saat ini masih harus ditambah. Jumlah koleksi spesies laut, termasuk yang ada di Museum Zoologi Bogor masih sangat minim. Eksplorasi biodiversitas laut masih harus dilakukan untuk menginventarisasi spesies-spesies yang ada.
Rabu, 21 September 2011
Indonesia Butuh Minimal 45 Taksonom Kelautan
KOMPAS.com - Indonesia merupakan salah satu pusat biodiversity atau keanekaragaman hayati dunia, salah satunya ditandai dengan besarnya jenis spesies di laut. Namun berapa spesies yang sebenarnya ada di laut Indonesia dan apa saja? Pertanyaan ini perlu dijawab dengan inventarisasi keanekaragaman hayati laut itu sendiri.
Prof Dr Suharsono, Ketua Masyarakat Taksonomi Kelautan Indonesia, yang juga peneliti di Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan, untuk mampu menginventarisasi keragaman hayati itu, kebutuhan utamanya adalah taksonom kelautan. Sayangnya jumlha taknsonom kelautan di Indonesia masih sangat minim.
"Dibutuhkan minimal 45 taksonom kelautan. Tiap kelas dalam satu taksa harus ada yang menangani. Idealnya dalam satu ordo ada satu taksonom," kata Suharsono dalam Kongres dan Seminar Taksonomi Kelautan Indonesia I yang berlangsung hari ini, Selasa (20/9/2011) di Jakarta.
Sejumlah taksonom tersebut diharapkan mampu meneliti beragam taksa makhluk hidup laut, seperti bakteri, firaminifera, porifera, crustacea, mollusca, echinodermata, coelenterata dan beragam jenis tumbuhan laut serta mangrove. Menurut Suharsono, masih banyak biota laut yang kini masih belum diteliti.
"Bakteri laut ini sudah banyak yang meneliti tetapi secara taksonomi belum banyak. Algae juga masih sedikit. Jenis Bryozoa dan Cetacea juga masih belum banyak," katanya.
Suharsono menjelaskan, beberapa strategi tengah dirancang untuk memenuhi kebutuhan taksonom. Salah satunya lewat edukasi. Institut Pertanian Bogor (IPB), kata Suharsono, tahun ini mulai menyelenggarakan jurusan taksonomi setelah mendapat lampu hijau dari DIKTI.
Strategi lain yang ditempuh adalah advokasi pada pemerintah untuk membangun reference collection kelautan, membentuk jaringan taksonomi dengan memanfaatkan universitas yang ada, kerjasama dengan lembaga internasional serta melakukan ekepedisi.
"Ke depan taksonom Indonesia harus jadi author dalam penamaan spesies. Saat ini banyak yang terlibat penelitian taksonomi tetapi belum menjadi author," kata Suharsono. Menjadi author berarti nama taksonom tercantum dalam nama spesies, seperti Linnaeus yang diterakan pada banyak spesies.
Saat ini, jumlah peneliti Indonesia yang terlibat dalam penelitian taksonomi adalah 20-30an. Namun, hanya 3 peneliti yang bisa dikatakan sebagai taksonom. Peluang menjadi taksonom di negeri yang kaya akan keanekaragaman hayati ini masih sangat besar.
Minggu, 18 September 2011
Coral Reef
Source: Terangi (The Indonesia Coral Reef Foundation)
What is a coral reef?
Coral reefs are massive limestone structure that provides shelter for marine life. They are the gardens and forests of the sea. As one of the largest and most complex ecosystem on the planet, coral reef are home to approximately 25 % of the ocean's species. To imagine a coral reef, think of it as a bustling community, a city of the sea, with the building made of corals, and thousand of inhabitants coming and going, carrying out their business.
What is coral?
Corals look like a plant or a rock. But it is actually composed of tiny, fragile animals called polyp. There are two types of coral: hard corals and soft corals. Hard corals or reef-building corals are hard as rock. Their skeletons are made out of calcium carbonate. Hard corals need zooxanthellae for survival and only live in clear shallow water. Soft corals look like plants or trees. They are non-reef building corals and don't posses zooxanthellae. Soft corals can be found both in tropical seas and in cool, dark water.
What is a polyp?
A polyp is a simple creature. They do not have back bone or invertebrates, and are cousins of jellyfish. A polyp has a sack-like structure. At its free end is a mouth surrounded by numerous stinging tentacles called cnidae. The polyp extracts calcium carbonate from seawater to build a hard external limestone skeleton that protects the soft, delicate body of the polyp.
How do coral eat?
Some corals eat by catching tiny floating creatures called plankton. They extend their long stinging tentacles to capture plankton that float by the ocean currents. Coral polyps are generally nocturnal feeders. They stay inside their skeletons during the day, and come out to feed at night. Hard corals or reef-building corals derive their nutrition from zooxanthellae.
What are zooxanthellae?
Zooxanthellae are single-celled algae that live and grow within the tissue of hard coral polyps. Zooxanthellae and coral have a symbiotic relationship and rely on one another for survival. Zooxanthellae provide the polyps with food through the process photosynthesis. In turn, coral polyps provide zooxanthellae a safe and protected home.
How do coral reproduce?
Corals exhibit sexual and asexual reproduction. Sexual reproduction occurs when the egg and sperm are released into the water. The sperm then fertilized the egg, creating new individual called planula or coral larva. The larva naturally attaches itself to a hard surface and become a coral polyp. In asexual reproduction, the coral polyp divides making an exact genetic copy of itself.
How long does it take for corals to grow?
Corals need a long time to grow. In one year corals can grow about 1cm. In 100 years, massive corals may grow by only 1m. If a 5m coral is damaged, it can take up to 500 years to recover!!!
How old are coral reefs?
Coral reefs are one of the most ancient ecosystem on the earth. The first stages of coral reef evolution began 500 million years ago. Modern coral reefs have been in existence for over 50 million years. Some established coral reefs are between 5,000 and 10,000 years old.
Why are coral reefs important?
Coral reefs provide a range of services to plant earth and her inhabitants. Among the most important for humans are:
* Reefs protect shorelines from erosion
* They serve as nurseries for growing fish
* Reef animals are an important source of protein in the diets of many costal communities
* Reefs are sources of income for many people, through fishing and tourism
* There is evidence that coral reefs may provide the base ingredients for new medicines
What destroys coral reefs ?
Coral reefs are fragile ecosystems and can easily be damaged or destroyed. Among the most destructive practices are blast fishing, the use of poison to stun fish and dropping anchor in coral. Coral can be damaged by just being touched and unaware divers and snorklers are often the culprits. Coral is also damaged as a result of pollution and siltation. Natural phenomena such as earthquakes and predation (for example, by the crown-of-thorns starfish) also damage the coral.
What can you do to help protect coral reefs ?
* Don't purchase items or souvenirs made from coral or other threatened marine life such as dried coral, pufferfish, or giant clam shells.
* Don't touch, stand on, or collect coral when you are snorkeling.
* If you are a diver, maintain control of fins, gauges, and other equipment so that they do not bump against the reef.
* If you have a tropical aquarium, make sure that you do not purchase fish caught using cyanide or other poisons.
* There is evidence that coral reefs may provide the base ingredients for new medicines
* Join an environmental organization that supports marine ecosystems
Read more: Coral Reef | The Indonesian Coral Reef Foundation (KLIK HERE)
What is a coral reef?
Coral reefs are massive limestone structure that provides shelter for marine life. They are the gardens and forests of the sea. As one of the largest and most complex ecosystem on the planet, coral reef are home to approximately 25 % of the ocean's species. To imagine a coral reef, think of it as a bustling community, a city of the sea, with the building made of corals, and thousand of inhabitants coming and going, carrying out their business.
What is coral?
Corals look like a plant or a rock. But it is actually composed of tiny, fragile animals called polyp. There are two types of coral: hard corals and soft corals. Hard corals or reef-building corals are hard as rock. Their skeletons are made out of calcium carbonate. Hard corals need zooxanthellae for survival and only live in clear shallow water. Soft corals look like plants or trees. They are non-reef building corals and don't posses zooxanthellae. Soft corals can be found both in tropical seas and in cool, dark water.
What is a polyp?
A polyp is a simple creature. They do not have back bone or invertebrates, and are cousins of jellyfish. A polyp has a sack-like structure. At its free end is a mouth surrounded by numerous stinging tentacles called cnidae. The polyp extracts calcium carbonate from seawater to build a hard external limestone skeleton that protects the soft, delicate body of the polyp.
How do coral eat?
Some corals eat by catching tiny floating creatures called plankton. They extend their long stinging tentacles to capture plankton that float by the ocean currents. Coral polyps are generally nocturnal feeders. They stay inside their skeletons during the day, and come out to feed at night. Hard corals or reef-building corals derive their nutrition from zooxanthellae.
What are zooxanthellae?
Zooxanthellae are single-celled algae that live and grow within the tissue of hard coral polyps. Zooxanthellae and coral have a symbiotic relationship and rely on one another for survival. Zooxanthellae provide the polyps with food through the process photosynthesis. In turn, coral polyps provide zooxanthellae a safe and protected home.
How do coral reproduce?
Corals exhibit sexual and asexual reproduction. Sexual reproduction occurs when the egg and sperm are released into the water. The sperm then fertilized the egg, creating new individual called planula or coral larva. The larva naturally attaches itself to a hard surface and become a coral polyp. In asexual reproduction, the coral polyp divides making an exact genetic copy of itself.
How long does it take for corals to grow?
Corals need a long time to grow. In one year corals can grow about 1cm. In 100 years, massive corals may grow by only 1m. If a 5m coral is damaged, it can take up to 500 years to recover!!!
How old are coral reefs?
Coral reefs are one of the most ancient ecosystem on the earth. The first stages of coral reef evolution began 500 million years ago. Modern coral reefs have been in existence for over 50 million years. Some established coral reefs are between 5,000 and 10,000 years old.
Why are coral reefs important?
Coral reefs provide a range of services to plant earth and her inhabitants. Among the most important for humans are:
* Reefs protect shorelines from erosion
* They serve as nurseries for growing fish
* Reef animals are an important source of protein in the diets of many costal communities
* Reefs are sources of income for many people, through fishing and tourism
* There is evidence that coral reefs may provide the base ingredients for new medicines
What destroys coral reefs ?
Coral reefs are fragile ecosystems and can easily be damaged or destroyed. Among the most destructive practices are blast fishing, the use of poison to stun fish and dropping anchor in coral. Coral can be damaged by just being touched and unaware divers and snorklers are often the culprits. Coral is also damaged as a result of pollution and siltation. Natural phenomena such as earthquakes and predation (for example, by the crown-of-thorns starfish) also damage the coral.
What can you do to help protect coral reefs ?
* Don't purchase items or souvenirs made from coral or other threatened marine life such as dried coral, pufferfish, or giant clam shells.
* Don't touch, stand on, or collect coral when you are snorkeling.
* If you are a diver, maintain control of fins, gauges, and other equipment so that they do not bump against the reef.
* If you have a tropical aquarium, make sure that you do not purchase fish caught using cyanide or other poisons.
* There is evidence that coral reefs may provide the base ingredients for new medicines
* Join an environmental organization that supports marine ecosystems
Read more: Coral Reef | The Indonesian Coral Reef Foundation (KLIK HERE)
Coral Bleaching and Coral Diseases (In Seribu Island, Jakarta)
Source: Terangi (The Indonesian Coral Reef Foundation)
Coral bleaching in Seribu Islands were encountered twice, in February 2006 and February 2007. This phenomena is highly correlated with drastic temperature change (either increasing or decreasing) in a short period. Temparature change is expected to happen every year. The phenomena started when sea surface temprature increased and followed with bleaching to corals which vulnerable to environmental stresses. if the condition become better, corals will recover. If not, white syndromes caused by bacteria will infect them. This disease can not be prevented, and only in a short time (1-2 months), all colony will die. If the phenomena persist and not handled well, biodiversity loss is inevitable.
February 2006: Survey was conducted on 20th February 2006, it was bright, the sea was calm and hot, but two week earliear an oil spill happen. Fishes, clams, and other benthic organism found dead. The island with the highest impact is Belanda Island. Coral colonies from genera Acropora, Pocillopora, Galaxea, and Porites were infected with bleaching and diseases. In April 2006, about 3,9% of hard corals experienced bleaching and 3,9% infected with white syndromes. This phenomena usually happened in the shallow area (1-5) meters and infected 16 genera especially Acroporids and Pocilloporids (Estradivari & Yusri, 2006).
February 2007: Survey was conducted on 7th February 2007 around the cape of Harapan Islands. Bleaching spread to 50% of the coral cover, which occur in 2-6 meter depth. Genera affected includes Acropora, Pocillopora, Stylopora, Merulina, Porites, and Seriatopora (TNKpS, 2007)
Below is the sea surface temperature fluctuation from May 2006 to April 2007
Coral bleaching in Seribu Islands were encountered twice, in February 2006 and February 2007. This phenomena is highly correlated with drastic temperature change (either increasing or decreasing) in a short period. Temparature change is expected to happen every year. The phenomena started when sea surface temprature increased and followed with bleaching to corals which vulnerable to environmental stresses. if the condition become better, corals will recover. If not, white syndromes caused by bacteria will infect them. This disease can not be prevented, and only in a short time (1-2 months), all colony will die. If the phenomena persist and not handled well, biodiversity loss is inevitable.
February 2006: Survey was conducted on 20th February 2006, it was bright, the sea was calm and hot, but two week earliear an oil spill happen. Fishes, clams, and other benthic organism found dead. The island with the highest impact is Belanda Island. Coral colonies from genera Acropora, Pocillopora, Galaxea, and Porites were infected with bleaching and diseases. In April 2006, about 3,9% of hard corals experienced bleaching and 3,9% infected with white syndromes. This phenomena usually happened in the shallow area (1-5) meters and infected 16 genera especially Acroporids and Pocilloporids (Estradivari & Yusri, 2006).
February 2007: Survey was conducted on 7th February 2007 around the cape of Harapan Islands. Bleaching spread to 50% of the coral cover, which occur in 2-6 meter depth. Genera affected includes Acropora, Pocillopora, Stylopora, Merulina, Porites, and Seriatopora (TNKpS, 2007)
Below is the sea surface temperature fluctuation from May 2006 to April 2007
Kurangi Dampak Lingkungan Dengan "RAMAH PADA LINGKUNGAN "
Source:WWF Indonesia
Ayo Bantu Bumi Kita Untuk Bebas Dari Segala Jenis Kerusakan Lingkungann,..!!!
Bahkan aktivitas paling sederhana yang dilakukan setiap hari, dapat membantu memulihkan planet kita yang kian rusak ini. Jangan tunda lagi, mari lakukan sekarang.
Kelangsungan hidup berbagai mahluk hidup di muka bumi kian terancam. Sudah saatnya setiap orang ikut menangani dengan cara masing-masing dan sesegera mungkin. Pastikan semua menggunakan solusi dan teknologi yang ramah lingkungan!
Hemat energi
* Matikan semua alat elektronik saat tidak digunakan. Kerlip merah penanda standby menunjukkan alat tersebut masih menggunakan listrik. Artinya Anda terus berkontribusi pada pemanasan global.
* Pilihlah perlengkapan elektronik serta lampu yang hemat energi
* Saat matahari bersinar hindari penggunaan mesin pengering, jemur dan biarkan pakaian kering secara alami.
Hemat air
* Matikan keran saat sedang menggosok gigi
* Gunakan air bekas cucian sayuran dan buah untuk menyiram tanaman
* Segera perbaiki keran yang bocor - keran bocor menumpahkan air bersih hingga 13 liter air per hari
* Jika mungkin mandilah dengan menggunakan shower. Mandi berendam merupakan cara yang paling boros air.
Hemat kayu dan kertas
* Selalu gunakan kertas di kedua sisinya
* Gunakan kembali amplop bekas
Kurangi, pakai lagi dan daur ulang (Reduce, Reuse and Recycle)
* Bantulah mengurangi tumpukan sampah dunia
* Jangan gunakan produk 'sekali pakai' seperti piring dan sendok kertas atau pisau, garpu dan cangkir plastik
* Gunakan baterai isi ulang
* Pilih kalkulator bertenaga surya
* Simpan makanan dalam wadah keramik, hindar
Ayo Bantu Bumi Kita Untuk Bebas Dari Segala Jenis Kerusakan Lingkungann,..!!!
Bahkan aktivitas paling sederhana yang dilakukan setiap hari, dapat membantu memulihkan planet kita yang kian rusak ini. Jangan tunda lagi, mari lakukan sekarang.
Kelangsungan hidup berbagai mahluk hidup di muka bumi kian terancam. Sudah saatnya setiap orang ikut menangani dengan cara masing-masing dan sesegera mungkin. Pastikan semua menggunakan solusi dan teknologi yang ramah lingkungan!
Hemat energi
* Matikan semua alat elektronik saat tidak digunakan. Kerlip merah penanda standby menunjukkan alat tersebut masih menggunakan listrik. Artinya Anda terus berkontribusi pada pemanasan global.
* Pilihlah perlengkapan elektronik serta lampu yang hemat energi
* Saat matahari bersinar hindari penggunaan mesin pengering, jemur dan biarkan pakaian kering secara alami.
Hemat air
* Matikan keran saat sedang menggosok gigi
* Gunakan air bekas cucian sayuran dan buah untuk menyiram tanaman
* Segera perbaiki keran yang bocor - keran bocor menumpahkan air bersih hingga 13 liter air per hari
* Jika mungkin mandilah dengan menggunakan shower. Mandi berendam merupakan cara yang paling boros air.
Hemat kayu dan kertas
* Selalu gunakan kertas di kedua sisinya
* Gunakan kembali amplop bekas
Kurangi, pakai lagi dan daur ulang (Reduce, Reuse and Recycle)
* Bantulah mengurangi tumpukan sampah dunia
* Jangan gunakan produk 'sekali pakai' seperti piring dan sendok kertas atau pisau, garpu dan cangkir plastik
* Gunakan baterai isi ulang
* Pilih kalkulator bertenaga surya
* Simpan makanan dalam wadah keramik, hindar
Kamis, 08 September 2011
Tsunami Jepang Memecah Es Antartika
Tsunami di Jepang Maret lalu memecahkan gunung es di Antartika. Ukuran gabungan seluruh pecahan mencapai dua kali Kota Manhattan, Amerika Serikat.
Para peneliti dari NASA berhasil mendeteksi ombak tsunami Jepang bergerak sejauh 13.600 kilometer. Ombak tersebut mencapai daerah kutub selatan 18 jam setelah tsunami di Jepang. Gelombang yang tingginya hanya 30 sentimeter itu membuat gunung es yang berasal dari bongkahan es Sulzberger terpisah.
Selain gelombang, es di Antartika juga diperkirakan memiliki hubungan dengan aktivitas seismik. Saat gempa dan tsunami terjadi, getaran yang timbul cukup untuk membuat retakan pada es Antartika.
Menurut catatan sejarah, es Sulzberger belum pernah beranjak dari tempatnya selama 46 tahun. Baru setelah hingga tsunami Jepang melanda, Sulzberger bergerak. "Di masa lalu, ada peristiwa seperti ini, namun kami masih mencari sumbernya. Sekarang kami tahu ternyata gempa dan tsunami Jepang, salah satu peristiwa terbesar di dalam sejarah, bisa jadi penyebab," jelas spesialis kriosfer, Kelly Brunt.
Setelah tsunami terjadi, Brunt dibantu Emile Okal dari Northwestern University dan Douglas Macayeal dari University of Cicago langsung meneliti pecahan es yang mengambang di laut menggunakan satelit. Setelah melihat lebih dekat dengan bantuan radar European Space Agency Satellite (ENVISAT), ditemukan dua gunung es, salah satunya diperkirakan sebesar Kota Manhattan.
"Ini merupakan contoh bagaimana peristiwa di Bumi ini terhubung satu sama lain walaupun dengan jarak yang sangat jauh. Hal ini juga menjelaskan bagaimana sistem yang sepertinya tidak berkaitan ternyata sangat berkaitan," ungkap MacAyeal. (National Geographic Indonesia/Arief Sujatmoko)
Sejarah Mengapa 1 Menit = 60 Detik
Bilangan 60 digunakan untuk menyatakan waktu, sejam 60 menit, semenit 60 detik. Bilangan 60 ini digunakan pertama kali oleh bangsa Sumeria, jadi mereka berhitung dengan basis 60 atau disebut juga Sexagesimal.
Alasan kenapa digunakan bilangan 60 adalah bilangan ini bilangan terkecil yang bisa dibagi oleh enam angka pertama yaitu: 1,2,3,4,5,6.
Jadi dengan mudah kita bisa terbayang: 1/2 jam = 30 mnt, 1/3 jam = 20 menit, 1/4 jam = 15 menit, dst. Bayangkan kalau satu jam = 100 menit, berarti 1/3 jam = 33,333 mnt??? Kalo kata orang, itu ngga bunyi …
Kalo kata matematisnya, 60 itu highly composite number, atau bilangan yang angka pembaginya/faktornya banyak, yaitu 1,2,3,4,5,6,10,12,15,20,30,60.
Detik
Detik atau sekon adalah satuan waktu dalam SI (Sistem Internasional, lihat unit SI) yang didefinisikan sebagai durasi selama 9.192.631.770 kali periode radiasi yang berkaitan dengan transisi dari dua tingkat hyperfine dalam keadaan ground state dari atom cesium-133 pada suhu nol kelvin.
Dalam penggunaan yang paling umum, satu detik adalah 1/60 dari satu menit, dan 1/3600 dari satu jam.
Sejarahnya
Pada awalnya, istilah second dalam bahasa Inggris dikenal sebagai "second minute" (menit kedua), yang berarti bagian kecil dari satu jam. Bagian yang pertama dikenal sebagai "prime minute" (menit perdana) yang sama dengan menit seperti yang dikenal sekarang.
Besarnya pembagian ini terpaku pada 1/60, yaitu, ada 60 menit di dalam satu jam dan ada 60 detik di dalam satu menit.Ini mungkin disebabkan oleh pengaruh orang-orang Babylonia, yang menggunakan hitungan sistem berdasarkan sexagesimal (basis 60).
Istilah jam sendiri sudah ditemukan oleh orang-orang Mesir dalam putaran bumi sebagai 1/24 dari mean hari matahari. Ini membuat detik sebagai 1/86.400 dari mean hari matahari.
Di tahun 1956, International Committee for Weights and Measures (CIPM), dibawah mandat yang diberikan oleh General Conference on Weights and Measures (CGPM) ke sepuluh di tahun 1954, menjabarkan detik dalam periode putaran bumi disekeliling matahari di saat epoch, karena pada saat itu telah disadari bahwa putaran bumi di sumbunya tidak cukup seragam untuk digunakan sebagai standar waktu.
Gerakan bumi itu digambarkan di Newcomb's Tables of the Sun (Daftar matahari Newcomb), yang mana memberikan rumusan untuk gerakan matahari pada epoch di tahun 1900 berdasarkan observasi astronomi dibuat selama abad ke-18 dan 19.
Dengan demikian detik didefinisikan sebagai 1/31.556.925,9747 bagian dari tahun matahari di tanggal 0 Januari 1900 jam 12 waktu ephemeris. Definisi ini diratifikasi oleh General Conference on Weights and Measures ke sebelas di tahun 1960.
Referensi ke tahun 1900 bukan berarti ini adalah epoch dari mean hari matahari yang berisikan 86.400 detik. Melainkan ini adalah epoch dari tahun tropis yang berisi 31.556.925,9747 detik dari Waktu Ephemeris.
Waktu Ephemeris (Ephemeris Time - ET) telah didefinisikan sebagai ukuran waktu yang memberikan posisi obyek angkasa yang terlihat sesuai dengan teori gerakan dinamis Newton.
Dengan dibuatnya jam atom, maka ditentukanlah penggunaan jam atom sebagai dasar pendefinisian dari detik, bukan lagi dengan putaran bumi.
Dari hasil kerja beberapa tahun, dua astronomer di United States Naval Observatory (USNO) dan dua astronomer di National Physical Laboratory (Teddington, England) menentukan hubungan dari hyperfine transition frequency atom caesium dan detik ephemeris.
Dengan menggunakan metode pengukuran common-view berdasarkan sinyal yang diterima dari stasiun radio WWV, mereka menentukan bahwa gerakan orbital bulan disekeliling bumi, yang dari mana gerakan jelas matahari bisa diterka, di dalam satuan waktu jam atom.Sebagai hasilnya, di tahun 1967, General Conference on Weights and Measures mendefinisikan detik dari waktu atom dalam International System of Units (SI) sebagai
Durasi sepanjang 9.192.631.770 periode dari radiasi sehubungan dengan transisi antara dua hyperfine level dari ground state dari atom caesium-133.
Ground state didefinisikan di ketidak-adaan (nol) medan magnet. Detik yang didefinisikan tersebut adalah sama dengan detik ephemeris. Definisi detik yang selanjutnya adalah disempurnakan di pertemuan BIPM untuk menyertakan kalimat Definisi ini mengacu pada atom caesium yang diam pada temperatur 0 K. Dalam prakteknya, ini berarti bahwa realisasi detik dengan ketepatan tinggi harus mengkompensasi efek dari radiasi sekelilingnya untuk mencoba mengextrapolasikan ke harga detik seperti yang disebutkan di atas.
Setiap orang wajib tahu waktu, oleh karena itu mari kita pelajari konversi atau perubahan waktu berikut ini :
1 Detik = Sama Dengan Seper 60 Menit (1/60 Detik)
1 Menit = Sama Dengan 60 Detik
1 Jam = Sama Dengan 60 Menit
1 Jam = Sama Dengan 3.600 Detik
1 Hari = Sama Dengan 24 Jam
1 Hari = Sama Dengan 1.440 Menit
1 Hari = Sama Dengan 86.400 Detik
1 Minggu = Sama Dengan 7 Hari
1 Bulan = Sama Dengan 28 Sampai 31 Hari
1 Bulan = Sama Dengan 4 Minggu
1 Caturwulan Atau Cawu = Sama Dengan 4 Bulan
1 Semester = Sama Dengan 6 Bulan
1 Tahun = 365 Sama Dengan Hingga 366 Hari
1 Tahun = Sama Dengan 12 Bulan
1 Dasawarsa = Sama Dengan 10 Tahun
1 Abad = Sama Dengan 100 Tahun
Sabtu, 20 Agustus 2011
Potensi hiu paus di Teluk Cenderawasih bagi industri ekowisata
Posted on 13 August 2011 from WWF Indonesia
Sebagai kawasan konservasi laut terluas di Indonesia, Taman Nasional Teluk Cenderawasih di Papua Barat memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, habitat terumbu karang, dan beragam spesies laut langka. Salah satu spesies unik yang terdapat di wilayah ini adalah hiu paus, spesies ikan terbesar di dunia. Di Teluk Cenderawasih, ikan raksasa ini dapat dengan mudah dijumpai.
Hiu Paus (Rhincodon typus) kerap kali menampakkan dirinya di permukaan air. Umumnya mereka muncul di sekitar bagan (rumah terapung tempat menangkap ikan) yang banyak ditemukan di sepanjang perairan Kwatisore. Sekumpulan ikan puri (ikan-ikan kecil) yang terkumpul di jaring-jaring nelayan tersebut menjadi magnet bagi sekawanan hiu paus tersebut.
Fenomena itulah yang menjadikan kawasan perairan Indonesia timur ini memiliki potensi yang besar untuk pengembangan industri ekowisata, jelas Dr. Brent Steward, Peneliti senior lembaga penelitian non profit berbasis di California,HUBBS Seaworld Institute dalam laporan terbarunya tentang pelatihan monitoring hiu paus di Teluk Cenderawasih. Pada kegiatan capacity building yang diselenggarakan oleh WWF-Indonesia, Taman Nasional Teluk Cenderawasih, dan Papua Pro (operator ekowisata) pada 2-7 Mei 2011 lalu, ilmuwan HUBBS tersebut memberikan pembekalan teknis kepada para peserta workshop dan memasang pop-up tag pada seekor hiu paus jantan.
Pada laporan teknis yang ditulisnya, Brent juga memaparkan keunikan lainnya dari hiu paus di Kwatisore. Para nelayan lokal di sekitar bagan biasa memanggil hiu paus dengan menepuk-nepuk permukaan air seraya melempar segenggam ikan puri. Tidak lama kemudian, gerombolan satwa langka ini pun berenang mendekati bagan, membuka mulutnya yang lebar, dan melahap ikan puri. Pada masa-masa inilah, interaksi dengan hiu paus dapat dengan mudah dilakukan. Mereka umumnya berenang-renang di sekitar bagan dalam waktu yang lama, bahkan seringkali muncul di permukaan. Pemandangan langka yang tidak didapatkan di lokasi agregasi hiu paus lainnya.
Tingginya intensitas interaksi dengan hiu paus di Kwatisore, menurut ahli spesies laut tersebut, perlu diimbangi dengan pengembangan panduan interaksi hiu paus. Hal itu penting untuk menjamin agar aktivitas pengamatan hiu paus yang dilakukan tidak memberikan dampak buruk bagi kelestarian ikan raksasa itu. Untuk memfasilitasi pengembangan panduan dan program peningkatan kapasitas serta dalam rangka membantu mengelola kelestarian hiua paus di Taman Nasional Teluk Cenderawasih, ia menekankan pentingnya pengembangan Monitoring and Research Program (MRP) yang dapat diselaraskan dengan aktivitas dan industri ekowisata. MRP ini nantinya juga akan mengevaluasi potensi dampak (positif dan negatif) yang mungkin ditimbulkan oleh aktivitas para nelayan yang sering memberi makan hiu paus di sekitar bagan.
Sebagai kawasan konservasi laut terluas di Indonesia, Taman Nasional Teluk Cenderawasih di Papua Barat memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, habitat terumbu karang, dan beragam spesies laut langka. Salah satu spesies unik yang terdapat di wilayah ini adalah hiu paus, spesies ikan terbesar di dunia. Di Teluk Cenderawasih, ikan raksasa ini dapat dengan mudah dijumpai.
Hiu Paus (Rhincodon typus) kerap kali menampakkan dirinya di permukaan air. Umumnya mereka muncul di sekitar bagan (rumah terapung tempat menangkap ikan) yang banyak ditemukan di sepanjang perairan Kwatisore. Sekumpulan ikan puri (ikan-ikan kecil) yang terkumpul di jaring-jaring nelayan tersebut menjadi magnet bagi sekawanan hiu paus tersebut.
Fenomena itulah yang menjadikan kawasan perairan Indonesia timur ini memiliki potensi yang besar untuk pengembangan industri ekowisata, jelas Dr. Brent Steward, Peneliti senior lembaga penelitian non profit berbasis di California,HUBBS Seaworld Institute dalam laporan terbarunya tentang pelatihan monitoring hiu paus di Teluk Cenderawasih. Pada kegiatan capacity building yang diselenggarakan oleh WWF-Indonesia, Taman Nasional Teluk Cenderawasih, dan Papua Pro (operator ekowisata) pada 2-7 Mei 2011 lalu, ilmuwan HUBBS tersebut memberikan pembekalan teknis kepada para peserta workshop dan memasang pop-up tag pada seekor hiu paus jantan.
Pada laporan teknis yang ditulisnya, Brent juga memaparkan keunikan lainnya dari hiu paus di Kwatisore. Para nelayan lokal di sekitar bagan biasa memanggil hiu paus dengan menepuk-nepuk permukaan air seraya melempar segenggam ikan puri. Tidak lama kemudian, gerombolan satwa langka ini pun berenang mendekati bagan, membuka mulutnya yang lebar, dan melahap ikan puri. Pada masa-masa inilah, interaksi dengan hiu paus dapat dengan mudah dilakukan. Mereka umumnya berenang-renang di sekitar bagan dalam waktu yang lama, bahkan seringkali muncul di permukaan. Pemandangan langka yang tidak didapatkan di lokasi agregasi hiu paus lainnya.
Tingginya intensitas interaksi dengan hiu paus di Kwatisore, menurut ahli spesies laut tersebut, perlu diimbangi dengan pengembangan panduan interaksi hiu paus. Hal itu penting untuk menjamin agar aktivitas pengamatan hiu paus yang dilakukan tidak memberikan dampak buruk bagi kelestarian ikan raksasa itu. Untuk memfasilitasi pengembangan panduan dan program peningkatan kapasitas serta dalam rangka membantu mengelola kelestarian hiua paus di Taman Nasional Teluk Cenderawasih, ia menekankan pentingnya pengembangan Monitoring and Research Program (MRP) yang dapat diselaraskan dengan aktivitas dan industri ekowisata. MRP ini nantinya juga akan mengevaluasi potensi dampak (positif dan negatif) yang mungkin ditimbulkan oleh aktivitas para nelayan yang sering memberi makan hiu paus di sekitar bagan.
Karbon, Ancaman Lain Kehidupan Laut
OLEH ABIYU PRADIPA | 14-07-2011 from NATIONAL GEOGRAPHIC INDONESIA
Kehidupan laut juga terancam oleh emisi karbon. Hal ini dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan oleh dua peneliti asal Inggris dan Australia yang menemukan banyaknya material organik terkubur dalam lapisan sedimen tak beroksigen yang berasal dari 85 juta tahun yang lalu.
Menggunakan sampel material yang digali dari dasar samudra di kawasan barat Afrika, kedua peneliti mempelajari lapisan sedimen dari periode Late Cretaceous (85 juta tahun lalu) selama jangka waktu 400 ribu tahun. Hasilnya, mereka mendapati bahwa banyak material organik (kehidupan laut) terkubur di dalam lapisan sedimen tak beroksigen.
“Penelitian kami membuktikan adanya kematian massal di samudra ketika Bumi menjalani proses efek rumah kaca dengan tingginya karbon dioksida di atmosfer dan kenaikan temperatur yang menyebabkan anjloknya oksigen yang dibutuhkan para hewan di air,” kata Kennedy.
Kennedy menyebutkan, jumlah karbon dioksida di atmosfer yang berlipat ganda dalam 50 tahun ke depan akan menjadi hantaman telak bagi ekosistem laut. Kepunahan massal kehidupan laut masa prasejarah bisa jadi peringatan. Pasalnya, efek rumah kaca bisa menghadirkan hal serupa.
Saat ini dead zone, kawasan dengan jumlah oksigen sangat minimal sehingga nyaris tidak mungkin menopang kehidupan, sudah semakin meluas di sejumlah lokasi dan samudra di seluruh dunia. Luas total zona minim oksigen di lautan melebihi 240.000 kilometer persegi. Area tersebut tersebar di beberapa negara. Zona terbesar ada di Mississippi, Amerika Serikat, yang mencapai lebih dari 22.000 kilometer persegi. “Banyak kawasan perairan yang kekurangan oksigen dan mengalami peningkatan karbon dioksida, temperatur, polusi dari limbah pertanian, serta faktor pemicu lain,” ucapnya. Dead zone bisa terjadi secara alami. Akan tetapi, aktivitas manusia membuat laju pertambahan kawasan itu lebih cepat.
Temuan ini sendiri dipublikasikan di jurnal Proceedings of the National Academy of Science. (Sumber: Cosmos Magazine)
Kehidupan laut juga terancam oleh emisi karbon. Hal ini dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan oleh dua peneliti asal Inggris dan Australia yang menemukan banyaknya material organik terkubur dalam lapisan sedimen tak beroksigen yang berasal dari 85 juta tahun yang lalu.
Menggunakan sampel material yang digali dari dasar samudra di kawasan barat Afrika, kedua peneliti mempelajari lapisan sedimen dari periode Late Cretaceous (85 juta tahun lalu) selama jangka waktu 400 ribu tahun. Hasilnya, mereka mendapati bahwa banyak material organik (kehidupan laut) terkubur di dalam lapisan sedimen tak beroksigen.
“Penelitian kami membuktikan adanya kematian massal di samudra ketika Bumi menjalani proses efek rumah kaca dengan tingginya karbon dioksida di atmosfer dan kenaikan temperatur yang menyebabkan anjloknya oksigen yang dibutuhkan para hewan di air,” kata Kennedy.
Kennedy menyebutkan, jumlah karbon dioksida di atmosfer yang berlipat ganda dalam 50 tahun ke depan akan menjadi hantaman telak bagi ekosistem laut. Kepunahan massal kehidupan laut masa prasejarah bisa jadi peringatan. Pasalnya, efek rumah kaca bisa menghadirkan hal serupa.
Saat ini dead zone, kawasan dengan jumlah oksigen sangat minimal sehingga nyaris tidak mungkin menopang kehidupan, sudah semakin meluas di sejumlah lokasi dan samudra di seluruh dunia. Luas total zona minim oksigen di lautan melebihi 240.000 kilometer persegi. Area tersebut tersebar di beberapa negara. Zona terbesar ada di Mississippi, Amerika Serikat, yang mencapai lebih dari 22.000 kilometer persegi. “Banyak kawasan perairan yang kekurangan oksigen dan mengalami peningkatan karbon dioksida, temperatur, polusi dari limbah pertanian, serta faktor pemicu lain,” ucapnya. Dead zone bisa terjadi secara alami. Akan tetapi, aktivitas manusia membuat laju pertambahan kawasan itu lebih cepat.
Temuan ini sendiri dipublikasikan di jurnal Proceedings of the National Academy of Science. (Sumber: Cosmos Magazine)
Pemanasan Global Sebabkan Polutan Berbahaya Muncul Kembali
OLEH ABIYU PRADIPA | 25-07-2011 from NATIONAL GEOGRAPHIC INDONESIA
Pemanasan global menyebabkan bahan kimia berbahaya, yang disebut “Dirty Dozen” termasuk DDT, yang sangat beracun kembali terbebas ke udara dari bongkahan es di lautan Kutub Utara. Temuan ini merupakan hasil penelitian yang dilaporkan dalam jurnal Nature Climate Change.
Dirty Dozen merupakan istilah untuk polutan organik yang gigih (persistent organic pollutants, disingkat POP), bahan kimia berbahaya yang umum digunakan di insektisida dan pestisida, yang sejak tahun 2001 dilarang untuk dipakai.
Bahan-bahan kimia ini terdiri dari molekul yang sangat kuat sehingga alam membutuhkan waktu beberapa dekade untuk menguraikannya. Mereka juga bisa terus berada di rantai makanan, menghadirkan ancaman kesuburan bagi spesies yang berada di puncak rantai makanan. Parahnya, POPs juga tidak larut di air dan lekas menguap sehingga mereka bisa dengan mudah berpindah dari tanah dan air ke atmosfer jika terkena suhu tinggi.
Peneliti mendapati adanya penurunan konsentrasi tiga bahan kimia berbahaya, seperti DDT, HCH, dan cischlordane, di atmosfer sepanjang 1993 sampai 2009. Namun dari data yang sama, peneliti mendapati bahwa adanya peningkatan emisi POP yang sebelumnya sudah terkunci di dalam es di kutub utara. Artinya, secara bertahap dilepaskan kembali ke atmosfer akibat adanya pemanasan suhu di kawasan tersebut.
“Sejumlah POP telah kembali ke atmosfer di atas Kutub Utara akibat perubahan iklim dan kejadian ini dapat menghambat upaya untuk mengurangi terkenanya bahan kimia beracun pada manusia,” kata Jianmin Ma, ketua tim peneliti dari Environment Canada.
Jordi Dachs, peneliti dari Institute of Environmental Assessment and Water Research, menyebutkan bahwa temuan itu merupakan kabar buruk. Akibat pemanasan global, Kutub Utara telah mengalami kerusakan dua sampai tiga kali lebih parah dibandingkan dengan bagian lain di planet ini. "Kutub Utara bisa menjadi pelopor dalam pelepasan POP. Mungkin akan terjadi juga dari tempat penyimpanan lain, termasuk tanah dan laut dalam," kata Dachs.
“Tampaknya, polutan ini akan memengaruhi lingkungan dalam jangka waktu yang lebih panjang dibanding perkiraan sebelumnya,” kata Dachs. “Polutan yang dihasilkan oleh kakek dan nenek kita, yang jadi bukti perusakan lingkungan di masa lalu, kini muncul kembali,” ucapnya. (Sumber: news24.com)
Pemanasan global menyebabkan bahan kimia berbahaya, yang disebut “Dirty Dozen” termasuk DDT, yang sangat beracun kembali terbebas ke udara dari bongkahan es di lautan Kutub Utara. Temuan ini merupakan hasil penelitian yang dilaporkan dalam jurnal Nature Climate Change.
Dirty Dozen merupakan istilah untuk polutan organik yang gigih (persistent organic pollutants, disingkat POP), bahan kimia berbahaya yang umum digunakan di insektisida dan pestisida, yang sejak tahun 2001 dilarang untuk dipakai.
Bahan-bahan kimia ini terdiri dari molekul yang sangat kuat sehingga alam membutuhkan waktu beberapa dekade untuk menguraikannya. Mereka juga bisa terus berada di rantai makanan, menghadirkan ancaman kesuburan bagi spesies yang berada di puncak rantai makanan. Parahnya, POPs juga tidak larut di air dan lekas menguap sehingga mereka bisa dengan mudah berpindah dari tanah dan air ke atmosfer jika terkena suhu tinggi.
Peneliti mendapati adanya penurunan konsentrasi tiga bahan kimia berbahaya, seperti DDT, HCH, dan cischlordane, di atmosfer sepanjang 1993 sampai 2009. Namun dari data yang sama, peneliti mendapati bahwa adanya peningkatan emisi POP yang sebelumnya sudah terkunci di dalam es di kutub utara. Artinya, secara bertahap dilepaskan kembali ke atmosfer akibat adanya pemanasan suhu di kawasan tersebut.
“Sejumlah POP telah kembali ke atmosfer di atas Kutub Utara akibat perubahan iklim dan kejadian ini dapat menghambat upaya untuk mengurangi terkenanya bahan kimia beracun pada manusia,” kata Jianmin Ma, ketua tim peneliti dari Environment Canada.
Jordi Dachs, peneliti dari Institute of Environmental Assessment and Water Research, menyebutkan bahwa temuan itu merupakan kabar buruk. Akibat pemanasan global, Kutub Utara telah mengalami kerusakan dua sampai tiga kali lebih parah dibandingkan dengan bagian lain di planet ini. "Kutub Utara bisa menjadi pelopor dalam pelepasan POP. Mungkin akan terjadi juga dari tempat penyimpanan lain, termasuk tanah dan laut dalam," kata Dachs.
“Tampaknya, polutan ini akan memengaruhi lingkungan dalam jangka waktu yang lebih panjang dibanding perkiraan sebelumnya,” kata Dachs. “Polutan yang dihasilkan oleh kakek dan nenek kita, yang jadi bukti perusakan lingkungan di masa lalu, kini muncul kembali,” ucapnya. (Sumber: news24.com)
Gunung Api Bawah Laut Ditemukan di Kutub Selatan
OLEH GLORIA SAMANTHA | 27-07-2011 from NATIONAL GEOGRAPHIC INDONESIA
Sebanyak 12 gunung api yang berlokasi di bawah lautan beku ditemukan di kawasan Kutub Selatan--beberapa gunung api tersebut masih aktif. Selain itu, tim ekspedisi juga menemukan kawah berdiameter 5.000 meter yang diduga terbentuk akibat letusan gunung berapi.
Rangkaian gunung berapi bawah laut ini terbentang di South Sandwich Islands. Letaknya terpencil dan air laut di atasnya sebagian tertutup salju. Phil Leat dari British Antarctic Survey mengaku mereka sendiri terkejut oleh penemuan itu. "Masih banyak rahasia gunung berapi di bawah laut yang belum bisa kita pahami," katanya.
Puncak-puncak gunung tidak terlihat dari permukaan laut. Mereka baru terlihat dengan bantuan perangkat pemetaan tiga dimensi. Meskipun demikian, peneliti yakin yang mereka temukan memang gunung berapi. Tim British Antarctic Survey menggunakan teknologi pemetaan yang terpasang di kapal RRS James Clark Ross. Ini merupakan penemuan gunung berapi bawah laut untuk kali pertama di kawasan tersebut.
Leat menyebut, penemuan ini penting karena bisa membantu memahami kejadian terkait letusan gunung berapi bawah laut. Mereka juga bisa mengenali potensi bahaya yang akan terjadi. "Teknologi pemetaan bawah laut yang ada sekarang ini tak cuma menyuguhkan sepotong cerita tentang evolusi planet bumi, melainkan memberi petunjuk mengenai seberapa bahaya ancaman yang ditimbulkan," jelas Leat.
Selain itu, para peneliti juga tertarik menelaah kehidupan keanekaragaman kehidupan di wilayah sekitar gunung api bawah laut tersebut.
Sebanyak 12 gunung api yang berlokasi di bawah lautan beku ditemukan di kawasan Kutub Selatan--beberapa gunung api tersebut masih aktif. Selain itu, tim ekspedisi juga menemukan kawah berdiameter 5.000 meter yang diduga terbentuk akibat letusan gunung berapi.
Rangkaian gunung berapi bawah laut ini terbentang di South Sandwich Islands. Letaknya terpencil dan air laut di atasnya sebagian tertutup salju. Phil Leat dari British Antarctic Survey mengaku mereka sendiri terkejut oleh penemuan itu. "Masih banyak rahasia gunung berapi di bawah laut yang belum bisa kita pahami," katanya.
Puncak-puncak gunung tidak terlihat dari permukaan laut. Mereka baru terlihat dengan bantuan perangkat pemetaan tiga dimensi. Meskipun demikian, peneliti yakin yang mereka temukan memang gunung berapi. Tim British Antarctic Survey menggunakan teknologi pemetaan yang terpasang di kapal RRS James Clark Ross. Ini merupakan penemuan gunung berapi bawah laut untuk kali pertama di kawasan tersebut.
Leat menyebut, penemuan ini penting karena bisa membantu memahami kejadian terkait letusan gunung berapi bawah laut. Mereka juga bisa mengenali potensi bahaya yang akan terjadi. "Teknologi pemetaan bawah laut yang ada sekarang ini tak cuma menyuguhkan sepotong cerita tentang evolusi planet bumi, melainkan memberi petunjuk mengenai seberapa bahaya ancaman yang ditimbulkan," jelas Leat.
Selain itu, para peneliti juga tertarik menelaah kehidupan keanekaragaman kehidupan di wilayah sekitar gunung api bawah laut tersebut.
Senin, 25 Juli 2011
Masih Berjuang Menjadi Negara Maritim
By: Tenni Purwanti | Tri Wahono | Minggu, 17 Juli 2011 | 22:48 WIB from kompas
KOMPAS.com - Indonesia dengan luas wilayahnya yang sebagian besar lautan, sepantasnya disebut negara maritim. Namun, sebutan negara maritim yang sudah melekat pada masyarakat Indonesia ternyata belum terbukti. Masih banyak yang harus diperbaiki terutama dalam hal eksplorasi kelautan.
Hal ini disampaikan Prof. Jamaludin Jompa dari Coral Reef Rehabilitation and Management dalam forum weekend tentang Konservasi Kelautan Indonesia. "Apa yang menunjukkan kita negara maritim? Penelitian-penelitian kita saja masih terlalu kecil untuk bisa mengetahui potensi maritim yang dimiliki Indonesia," ujar Jamaludin di Newseum, Jakarta, Sabtu (16/7/2011).
Padahal, menurut Jamaludin, Indonesia termasuk ke dalam Coral Triangle, yakni Negara dengan potensi maritim terbesar di dunia. "Di dunia ini, ada tiga besar wilayah yang memiliki potensi maritim terutama terumbu karang terbesar, yakni wilayah Amazon di Amerika, wilayah Congo Basir di Afrika, dan Coral Triangle di Indonesia. Enam puluh persen terumbu karang Indonesia ada di wilayah timur, dengan jumlah lebih dari 500 spesies," jelasnya.
Dr. Yulian Paonganan, Msc, Direktur Indonesia Maritime Institute yang juga hadir dalam forum ini menambahkan, Indonesia memiliki potensi maritim senilai Rp 7 ribu trilyun per tahun. "Angka tersebut bisa didapatkan Indonesia jika potensi maritim dikelola dengan baik. Indonesia adalah negara dengan hasil alam yang besar, namun tidak bisa mengolahnya. Hampir 90 persen potensi migas kita dikelola asing. Bahkan mungkin tidak banyak yang tahu kalau Raja Ampat adalah penghasil nikel terbesar di dunia. Kapal Sinar Kudus yang dibajak kemarin juga membawa nikel Indonesia senilai Rp 6,5 trilyun, padahal baru berupa kapal kecil," ujarnya.
Yulian menambahkan, sayangnya pelaksanaan konservasi kelautan Indonesia masih berbentuk parsial. "Indonesia masih terkotak-kotak dengan desa, kecamatan, kabupaten, padahal pengelolaan sumber daya alam harus terintegrasi, bukan parsial. Contohnya, apa yang dilakukan di gunung, akan berpengaruh di laut. Tapi tidak banyak masyarakat atau aparat pemerintah yang tahu sampai sejauh ini," tambahnya.
Irwan Mulyawan dari Ikatan Sarjana Kelautan, dalam forum ini menambahkan, masalah otonomi memang menjadi salah satu masalah maritim di Indonesia. "Hal-hal yang menyebabkan Indonesia masih jauh dari istilah negara maritim adalah karena tumpang tindihnya masalah otonomi. Para pejabat di daerah masih belum bersinergi untuk mengelola kelautan secara bersama-sama. Selain itu, belum adanya pendanaan khusus untuk pengelolaan. Tapi pengelolaan juga butuh penelitian dan penelitian ini masih sangat minim karena belum ada indikator yang efektif untuk mengukur keseimbangan ekologi," ujar Irwan.
Prof. Jamaludin juga menyampaikan bahwa masalah utama sulitnya Indonesia menjadi negara maritim adalah masalah penelitian. "Kemampuan riset dan teknologi Indonesia masih jauh dari negara lain. Maritim Indonesia masih terlalu misteri untuk dikelola dengan mudah. Indonesia banyak mengalami pencurian karena penelitian yang kurang. Kita tidak tahu bahwa potensi alam kita sudah dicuri oleh negara lain karena pengetahuan kita akan kekayaan laut sangat kurang. Oleh karena itu, masalah fundamental yang harus dibenahi sekarang ini adalah memahami kekayaan laut Indonesia," jelas Jamaludin.
Sementara Yulian menambahkan, Indonesia juga sering melakukan penelitian yang tidak berkelanjutan. "Banyak penelitian yang tidak berkelanjutan. Padahal hasil penelitian harus berupa aplikator agar bisa dipakai untuk eksplorasi. Namun kenyataannya, berapa banyak penelitian mahasiswa yang berhenti setelah mendapat gelar sarjana? Bagaimana dengan pembangunan dermaga yang masih setengah jadi sudah ditinggalkan? Contoh-contoh seperti ini harus menjadi perhatian. Aktivis, akademisi, dan penentu kebijakan di Republik ini harus nyambung. Ketiga elemen ini harus bekerja sama agar penelitian bisa berkelanjutan, diaplikasikan, sekaligus diawasi," ungkapnya.
Prof. Jamaludin mengungkapkan bahwa CTI (Coral Trader Inisiative) bisa diberlakukan di Indonesia. "Seharusnya sebagai wilayah dalam Coral Triangle, Indonesia bisa menjual terumbu karang lebih banyak, namun sekali lagi, hanya apabila dikelola dengan baik. Ada lima hal yang harus diperhatikan agar kita berhasil dalam CTI, yakni bentang laut dikelola secara bersama-sama, bukan per desa atau per kabupaten karena laut merupakan satu kesatuan.
Kedua, Indonesia harus lebih paham isi laut sebelum mengelola ekosistem. Ketiga, kelola kawasan konservasi laun dalam konteks networking (peneliti-aktifis-penentu kebijakan-pebisnis-masyarakat). Keempat adanya kesadaran bahwa spesies harus segera diperbaiki karena keragaman genetika adalah masa depan populasi manusia.
Terakhir, Indonesia harus peduli bahwa perubahan iklim sudah terjadi di laut Indonesia, misalnya dengan terjadinya coral bleaching di mana warna terumbu karang berubah karena polusi sehingga sulit untuk dijual.
KOMPAS.com - Indonesia dengan luas wilayahnya yang sebagian besar lautan, sepantasnya disebut negara maritim. Namun, sebutan negara maritim yang sudah melekat pada masyarakat Indonesia ternyata belum terbukti. Masih banyak yang harus diperbaiki terutama dalam hal eksplorasi kelautan.
Hal ini disampaikan Prof. Jamaludin Jompa dari Coral Reef Rehabilitation and Management dalam forum weekend tentang Konservasi Kelautan Indonesia. "Apa yang menunjukkan kita negara maritim? Penelitian-penelitian kita saja masih terlalu kecil untuk bisa mengetahui potensi maritim yang dimiliki Indonesia," ujar Jamaludin di Newseum, Jakarta, Sabtu (16/7/2011).
Padahal, menurut Jamaludin, Indonesia termasuk ke dalam Coral Triangle, yakni Negara dengan potensi maritim terbesar di dunia. "Di dunia ini, ada tiga besar wilayah yang memiliki potensi maritim terutama terumbu karang terbesar, yakni wilayah Amazon di Amerika, wilayah Congo Basir di Afrika, dan Coral Triangle di Indonesia. Enam puluh persen terumbu karang Indonesia ada di wilayah timur, dengan jumlah lebih dari 500 spesies," jelasnya.
Dr. Yulian Paonganan, Msc, Direktur Indonesia Maritime Institute yang juga hadir dalam forum ini menambahkan, Indonesia memiliki potensi maritim senilai Rp 7 ribu trilyun per tahun. "Angka tersebut bisa didapatkan Indonesia jika potensi maritim dikelola dengan baik. Indonesia adalah negara dengan hasil alam yang besar, namun tidak bisa mengolahnya. Hampir 90 persen potensi migas kita dikelola asing. Bahkan mungkin tidak banyak yang tahu kalau Raja Ampat adalah penghasil nikel terbesar di dunia. Kapal Sinar Kudus yang dibajak kemarin juga membawa nikel Indonesia senilai Rp 6,5 trilyun, padahal baru berupa kapal kecil," ujarnya.
Yulian menambahkan, sayangnya pelaksanaan konservasi kelautan Indonesia masih berbentuk parsial. "Indonesia masih terkotak-kotak dengan desa, kecamatan, kabupaten, padahal pengelolaan sumber daya alam harus terintegrasi, bukan parsial. Contohnya, apa yang dilakukan di gunung, akan berpengaruh di laut. Tapi tidak banyak masyarakat atau aparat pemerintah yang tahu sampai sejauh ini," tambahnya.
Irwan Mulyawan dari Ikatan Sarjana Kelautan, dalam forum ini menambahkan, masalah otonomi memang menjadi salah satu masalah maritim di Indonesia. "Hal-hal yang menyebabkan Indonesia masih jauh dari istilah negara maritim adalah karena tumpang tindihnya masalah otonomi. Para pejabat di daerah masih belum bersinergi untuk mengelola kelautan secara bersama-sama. Selain itu, belum adanya pendanaan khusus untuk pengelolaan. Tapi pengelolaan juga butuh penelitian dan penelitian ini masih sangat minim karena belum ada indikator yang efektif untuk mengukur keseimbangan ekologi," ujar Irwan.
Prof. Jamaludin juga menyampaikan bahwa masalah utama sulitnya Indonesia menjadi negara maritim adalah masalah penelitian. "Kemampuan riset dan teknologi Indonesia masih jauh dari negara lain. Maritim Indonesia masih terlalu misteri untuk dikelola dengan mudah. Indonesia banyak mengalami pencurian karena penelitian yang kurang. Kita tidak tahu bahwa potensi alam kita sudah dicuri oleh negara lain karena pengetahuan kita akan kekayaan laut sangat kurang. Oleh karena itu, masalah fundamental yang harus dibenahi sekarang ini adalah memahami kekayaan laut Indonesia," jelas Jamaludin.
Sementara Yulian menambahkan, Indonesia juga sering melakukan penelitian yang tidak berkelanjutan. "Banyak penelitian yang tidak berkelanjutan. Padahal hasil penelitian harus berupa aplikator agar bisa dipakai untuk eksplorasi. Namun kenyataannya, berapa banyak penelitian mahasiswa yang berhenti setelah mendapat gelar sarjana? Bagaimana dengan pembangunan dermaga yang masih setengah jadi sudah ditinggalkan? Contoh-contoh seperti ini harus menjadi perhatian. Aktivis, akademisi, dan penentu kebijakan di Republik ini harus nyambung. Ketiga elemen ini harus bekerja sama agar penelitian bisa berkelanjutan, diaplikasikan, sekaligus diawasi," ungkapnya.
Prof. Jamaludin mengungkapkan bahwa CTI (Coral Trader Inisiative) bisa diberlakukan di Indonesia. "Seharusnya sebagai wilayah dalam Coral Triangle, Indonesia bisa menjual terumbu karang lebih banyak, namun sekali lagi, hanya apabila dikelola dengan baik. Ada lima hal yang harus diperhatikan agar kita berhasil dalam CTI, yakni bentang laut dikelola secara bersama-sama, bukan per desa atau per kabupaten karena laut merupakan satu kesatuan.
Kedua, Indonesia harus lebih paham isi laut sebelum mengelola ekosistem. Ketiga, kelola kawasan konservasi laun dalam konteks networking (peneliti-aktifis-penentu kebijakan-pebisnis-masyarakat). Keempat adanya kesadaran bahwa spesies harus segera diperbaiki karena keragaman genetika adalah masa depan populasi manusia.
Terakhir, Indonesia harus peduli bahwa perubahan iklim sudah terjadi di laut Indonesia, misalnya dengan terjadinya coral bleaching di mana warna terumbu karang berubah karena polusi sehingga sulit untuk dijual.
Minggu, 24 Juli 2011
Langkah awal menuju sertifikasi MSC perikanan karang dan tuna Indonesia
Oleh: Abdullah Habibi from WWF Indonesia (click here)
Jakarta (21/06)-Sebagai tindak lanjut konsultasi perbaikan perikanan Karang dan Tuna yang diadakan di Bogor pada Oktober 2010 lalu, Kementrian Kelautan dan Perikanan bersama dengan WWF Indonesia menggelar pertemuan Sosialisasi Program Perbaikan Perikanan Tuna menuju sertifikasi Marine Stewardship Council (MSC) pada 21 Juni 2011 di Hotel Kartika Chandra, Jakarta. Pada pertemuan itu, serangkaian dokumen berisi panduan rencana aksi perikanan karang (Kakap dan Kerapu), rencana aksi perikanan tuna (madidihang, mata besar, cakalang) serta usulan Rencana Pengelolaan Perikanan Tuna disosialisasikan.
Sejumlah pihak terkait dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, Komisi Tuna Indonesia, industri dan asosiasi perikanan Tuna (ANOVA Co., PT. Chen Woo Fishery, Asosiasi Tuna Indonesia (ASTUIN), GAPPINDO, MPN), WWF-Indonesia SFP ), serta IMACS menghadiri forum tersebut.
Desakan dari konsumen yang telah menyadari isu kelestarian sumberdaya ikan, memaksa mayoritas retailer besar di Amerika dan Eropa untuk berkomitmen hanya membeli produk perikanan yang tersertifikasi MSC. Persyaratan sertifikasi ini mulai diberlakukan padatahun 2012. Di masa depan bukan tidak mungkin kontrol konsumen terhadap pentingnya perikanan yang berkelanjutan pun akan berlaku di semua negara di dunia.
Lalu bagaimana dengan Indonesia?Sebagai salah satu penghasil ikan karang dan tuna nomor empat dunia, Indonesia pun harus siap untuk menerapkan sertifikasi ini pada para pengusaha perikanan yang akan mengekspor ikannya ke luar negeri. Pada 2009, WWF-Indonesia bersama dengan Direktorat Pemasaran Luar Negeri – KKP telah memfasilitasi beberapa perusahaan untuk melakukan penilaian awal terhadap kesiapan mereka mendapatkan sertifikasi MSC. Hasilnya menunjukkan adanya nilai-nilai positif pada pengelolaan perikanan di Indonesia yang harus dijaga. Tidak hanya itu, penelitian tersebut juga mengidentifikasi hal-hal terkait penelitian, peraturan perikanan dan implementasinya serta pengembangan kelembagaan perikanan yang perlu diperkuat agar industri perikanan Indonesia dapat meraih sertifikasi ekolabel ini.
Namun, untuk menerapkan standar MSC, diperlukan perubahan mendasar dalam praktek-praktek pengelolaan perikanan di Indonesia. Dalam hal ini, pengelolaan perikanan harus difokuskan pada keberlanjutan sumber daya ikan dan bukannya meningkatkan jumlah produksi tanpa memperdulikan kelestarian stok ikan tersebut seperti yang selama ini banyak dijalankan.
Seperti yang terungkap dalam pertemuan tersebut, perjalanan menuju sertifikasi MSC akan memerlukan waktu yang panjang dan kerja keras oleh semua pihak. Ketua Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Dr. Purwito Martosubroto mengemukakan pentingnya peran pemerintah dalam mendukung upaya pencapaian sertifikasi tersebut.“Keberlangsungan stok ikan bukan hanya tanggung jawab pengusaha sendiri. Dalam pengelolaannya, ada aturan-aturan yang ditetapkan dan harus diikuti di setiap daerah, dan yang memiliki wewenang atas penetapan aturan itu adalah pemerintah. Karena itu, pemerintah memiliki andil besar dalam proses mendapatkan sertifikasi ini," ungkapnya.
Lebih lanjut, Dr. Purwito menekankan perlunya langkah kerja struktural yang harus disusun dengan jelas. Menurutnya, harus dibuat dulu academic paper yang jelas, siapa yang mengerjakan apa, siapa yang bertanggung jawab terhadap apa, serta tanggung jawab strukturalnya masing-masing. Seperti yang telah diagendakan, pertemuan ini juga membahas usulan organogram untuk rencana kerja pengelolaan perikanan tuna Indonesia. Dalam pembahasan ini dijelaskan tugas-tugas setiap lembaga, siapa saja yang bertanggung jawab pada rencana kerja tertentu, langkah-langkah yang harus diambil, dan sebagainya.
Richard Banks yang mewakili WWF dalam aktivitas perbaikan perikanan menekankan agar setiap pihak fokus pada kerangka kerja ini dan meninggalkan kekhawatiran-kekhawatiran yang berlebihan dalam perencanaannya.
Sementara itu, Imam Musthofa, Koordinator Nasional Program Perikanan WWF-Indonesia, dalam presentasinya mencoba mengembalikan pembicaraan kepada kerangka kerja yang sudah disusun. Pertimbangan-pertimbangan mengenai Program Perbaikan Perikanan sudah dibicarakan dalam workshop yang diadakan di Bogor tahun 2010 sebelumnya, sehingga pertemuan ini adalah pertemuan untuk membahas kelanjutan dari rencana kerja yang telah disusun, bagaimana perkembangannya, dan apa langkah selanjutnya.
Blane Olson dari Anova Seafood Group, importir perikanan Indonesia yang mendukung sertifikasi MSC, yakin bahwa Indonesia mampu mendapatkan sertifikasi ini. “Tentu saja banyak pihak yang harus dilibatkan. Kunci agar sertifikasi ini bisa didapatkan adalah adanya dukungan dari semua pihak yang terkait, bekerja sama dengan pengusaha, pemerintah. Jika pemerintah mau melakukan perubahan dengan menetapkan peraturan dan pengembangan program dengan waktu yang terukur serta membangun partnership dengan LSM atau lembaga-lembaga lain, saya yakin semua bisa diwujudkan,” paparnya.
Senada dengan Blane Olson, Direktur Sumberdaya Ikan KKP Agus A. Budhiman juga menggarisbawahi pentingnya dukungan dari pemerintah. Ia meyakinkan peserta pertemuan ini dengan menyatakan dukungannya terhadap konsep MSC untuk keberlangsungan stok ikan dengan berbagai cara. “Kita memahami hal ini penting. Bagaimanapun pengusaha perlahan-lahan akan menyadari bahwa laut tidak boleh “dikuras”. SDI pun telah menerapkan peraturan pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab demi mencapai hasil laut yang sustainable,” pungkasnya.
Jakarta (21/06)-Sebagai tindak lanjut konsultasi perbaikan perikanan Karang dan Tuna yang diadakan di Bogor pada Oktober 2010 lalu, Kementrian Kelautan dan Perikanan bersama dengan WWF Indonesia menggelar pertemuan Sosialisasi Program Perbaikan Perikanan Tuna menuju sertifikasi Marine Stewardship Council (MSC) pada 21 Juni 2011 di Hotel Kartika Chandra, Jakarta. Pada pertemuan itu, serangkaian dokumen berisi panduan rencana aksi perikanan karang (Kakap dan Kerapu), rencana aksi perikanan tuna (madidihang, mata besar, cakalang) serta usulan Rencana Pengelolaan Perikanan Tuna disosialisasikan.
Sejumlah pihak terkait dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, Komisi Tuna Indonesia, industri dan asosiasi perikanan Tuna (ANOVA Co., PT. Chen Woo Fishery, Asosiasi Tuna Indonesia (ASTUIN), GAPPINDO, MPN), WWF-Indonesia SFP ), serta IMACS menghadiri forum tersebut.
Desakan dari konsumen yang telah menyadari isu kelestarian sumberdaya ikan, memaksa mayoritas retailer besar di Amerika dan Eropa untuk berkomitmen hanya membeli produk perikanan yang tersertifikasi MSC. Persyaratan sertifikasi ini mulai diberlakukan padatahun 2012. Di masa depan bukan tidak mungkin kontrol konsumen terhadap pentingnya perikanan yang berkelanjutan pun akan berlaku di semua negara di dunia.
Lalu bagaimana dengan Indonesia?Sebagai salah satu penghasil ikan karang dan tuna nomor empat dunia, Indonesia pun harus siap untuk menerapkan sertifikasi ini pada para pengusaha perikanan yang akan mengekspor ikannya ke luar negeri. Pada 2009, WWF-Indonesia bersama dengan Direktorat Pemasaran Luar Negeri – KKP telah memfasilitasi beberapa perusahaan untuk melakukan penilaian awal terhadap kesiapan mereka mendapatkan sertifikasi MSC. Hasilnya menunjukkan adanya nilai-nilai positif pada pengelolaan perikanan di Indonesia yang harus dijaga. Tidak hanya itu, penelitian tersebut juga mengidentifikasi hal-hal terkait penelitian, peraturan perikanan dan implementasinya serta pengembangan kelembagaan perikanan yang perlu diperkuat agar industri perikanan Indonesia dapat meraih sertifikasi ekolabel ini.
Namun, untuk menerapkan standar MSC, diperlukan perubahan mendasar dalam praktek-praktek pengelolaan perikanan di Indonesia. Dalam hal ini, pengelolaan perikanan harus difokuskan pada keberlanjutan sumber daya ikan dan bukannya meningkatkan jumlah produksi tanpa memperdulikan kelestarian stok ikan tersebut seperti yang selama ini banyak dijalankan.
Seperti yang terungkap dalam pertemuan tersebut, perjalanan menuju sertifikasi MSC akan memerlukan waktu yang panjang dan kerja keras oleh semua pihak. Ketua Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Dr. Purwito Martosubroto mengemukakan pentingnya peran pemerintah dalam mendukung upaya pencapaian sertifikasi tersebut.“Keberlangsungan stok ikan bukan hanya tanggung jawab pengusaha sendiri. Dalam pengelolaannya, ada aturan-aturan yang ditetapkan dan harus diikuti di setiap daerah, dan yang memiliki wewenang atas penetapan aturan itu adalah pemerintah. Karena itu, pemerintah memiliki andil besar dalam proses mendapatkan sertifikasi ini," ungkapnya.
Lebih lanjut, Dr. Purwito menekankan perlunya langkah kerja struktural yang harus disusun dengan jelas. Menurutnya, harus dibuat dulu academic paper yang jelas, siapa yang mengerjakan apa, siapa yang bertanggung jawab terhadap apa, serta tanggung jawab strukturalnya masing-masing. Seperti yang telah diagendakan, pertemuan ini juga membahas usulan organogram untuk rencana kerja pengelolaan perikanan tuna Indonesia. Dalam pembahasan ini dijelaskan tugas-tugas setiap lembaga, siapa saja yang bertanggung jawab pada rencana kerja tertentu, langkah-langkah yang harus diambil, dan sebagainya.
Richard Banks yang mewakili WWF dalam aktivitas perbaikan perikanan menekankan agar setiap pihak fokus pada kerangka kerja ini dan meninggalkan kekhawatiran-kekhawatiran yang berlebihan dalam perencanaannya.
Sementara itu, Imam Musthofa, Koordinator Nasional Program Perikanan WWF-Indonesia, dalam presentasinya mencoba mengembalikan pembicaraan kepada kerangka kerja yang sudah disusun. Pertimbangan-pertimbangan mengenai Program Perbaikan Perikanan sudah dibicarakan dalam workshop yang diadakan di Bogor tahun 2010 sebelumnya, sehingga pertemuan ini adalah pertemuan untuk membahas kelanjutan dari rencana kerja yang telah disusun, bagaimana perkembangannya, dan apa langkah selanjutnya.
Blane Olson dari Anova Seafood Group, importir perikanan Indonesia yang mendukung sertifikasi MSC, yakin bahwa Indonesia mampu mendapatkan sertifikasi ini. “Tentu saja banyak pihak yang harus dilibatkan. Kunci agar sertifikasi ini bisa didapatkan adalah adanya dukungan dari semua pihak yang terkait, bekerja sama dengan pengusaha, pemerintah. Jika pemerintah mau melakukan perubahan dengan menetapkan peraturan dan pengembangan program dengan waktu yang terukur serta membangun partnership dengan LSM atau lembaga-lembaga lain, saya yakin semua bisa diwujudkan,” paparnya.
Senada dengan Blane Olson, Direktur Sumberdaya Ikan KKP Agus A. Budhiman juga menggarisbawahi pentingnya dukungan dari pemerintah. Ia meyakinkan peserta pertemuan ini dengan menyatakan dukungannya terhadap konsep MSC untuk keberlangsungan stok ikan dengan berbagai cara. “Kita memahami hal ini penting. Bagaimanapun pengusaha perlahan-lahan akan menyadari bahwa laut tidak boleh “dikuras”. SDI pun telah menerapkan peraturan pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab demi mencapai hasil laut yang sustainable,” pungkasnya.
Rabu, 06 Juli 2011
Marine Conservation Area is 20 Million Hectares
From: "Ministry Of Marine Affair And Fisheries" (Click here)
Ministry of Marine Affairs and Fisheries (KKP) encourage increased production of Marine culture. One other thing is targeted water conservation area covering 15.5 million hectares (ha) in 2014. Area of maintenance and protection of these marine increase 11.5% compared with last year's conservation area which reached 13.9 million ha. KKP targeted water conservation areas in 2020 could reach 20 million hectares.
Gelwynn Yusuf, Secretary General of KKP explains this conservation area will be managed by central and local governments. "The government budget is limited, on the other hand to manage the wide biodiversity requires huge funds," Gelwynn said on Thursday (17/3).
Government will mobilize other resources to support processing of the conservation area. For example, by distributing the management of licensing fees, taxes, fees fines for violations, pollution fines, grants from domestic and overseas, corporate social responsibility program, or environmental management of funds by non-profit self supporting organizations.
Currently, conservation of water management financing comes from the government budgets. "Other sources such as foreign aid, LSM, and grant" continued Gelwynn. Nevertheless, he said the funds were not sufficient. Because, to manage the 20,000 hectares area below, required funding of about U.S. $ 110 per hectares.
Ministry of Marine Affairs and Fisheries (KKP) encourage increased production of Marine culture. One other thing is targeted water conservation area covering 15.5 million hectares (ha) in 2014. Area of maintenance and protection of these marine increase 11.5% compared with last year's conservation area which reached 13.9 million ha. KKP targeted water conservation areas in 2020 could reach 20 million hectares.
Gelwynn Yusuf, Secretary General of KKP explains this conservation area will be managed by central and local governments. "The government budget is limited, on the other hand to manage the wide biodiversity requires huge funds," Gelwynn said on Thursday (17/3).
Government will mobilize other resources to support processing of the conservation area. For example, by distributing the management of licensing fees, taxes, fees fines for violations, pollution fines, grants from domestic and overseas, corporate social responsibility program, or environmental management of funds by non-profit self supporting organizations.
Currently, conservation of water management financing comes from the government budgets. "Other sources such as foreign aid, LSM, and grant" continued Gelwynn. Nevertheless, he said the funds were not sufficient. Because, to manage the 20,000 hectares area below, required funding of about U.S. $ 110 per hectares.
Minggu, 26 Juni 2011
Saatnya bijak memilih "seafood"
By WWF Indonesia
Dengan mendorong praktik perikanan yang berkelanjutan, WWF berupaya membantu menyelamatkan industri perikanan yang terancam ini. Salah satu prinsip yang diperjuangkan adalah menjaga stok ikan dan meningkatkan mutu lingkungannya, serta membangun komitmen para aktor industri perikanan (nelayan, konsumen, dan perusahaan) dalam menciptakan perilaku dan bisnis perikanan yang berkelanjutan.
Upaya pemulihan stok ikan dan ekosistem perairan dilakukan WWF dengan mengembangkan jaringan untuk mendorong peningkatan fungsi Kawasan Konservasi Laut (MPAs). Dengan menjaga area yang bisa dieksploitasi, maka penurunan populasi ikan diharapkan dapat terselamatkan.
Melalui kampanye publik "Sustainable Seafood" diharapkan adanya peningkatan permintaan akan sustainable seafood. Melalui pembuatan seafood guide, WWF mendorong konsumen untuk mengenal gagasan hidangan laut lestari (sustainable seafood) serta lebih selektif memilih makanan laut.
Dengan kata lain yang dilakukan adalah bagaimana meningkatkan permintaan atas hidangan laut lestari dengan mensosialisasikan gagasan "sustainbale seafood" dan mendorong konsumen untuk memilih hidangan laut dengan bijak. Salah satu nstrumen kampanye yang digunakan adalah seafood guide, buku saku yang berisi panduan memilih hidangan laut yang berkelanjutan.
Di sisi lain, jaringan berbagai pelaku industri perikanan juga didorong untuk terus meningkatkan perannya dalam perikanan berkelanjutan. WWE berkerjasama dengan banyak pihak untuk melestarikan kehidupan laut lainnya seperti penyu dan cetacean (kerabat paus). Dengan diajak untuk menerima konsep alat perikanan yang meminimalisir tangkapan sampin (bycatch), para pelaku industri perikanan diharapkan akan berproduksi secara lebih efisien dan lestari. Sementara forum multipihak WWF mengembangkan program Seafood Savers untuk mendorong penerapan praktik-praktik perikanan berkelanjutan oleh para produsen, ritel, dan lembaga keuangan. Melalui usaha bersama para pemain industri seafood ini WWF berupaya mewujudkan perbaikan kegiatan perikanan di Indonesia.
Kelompok ini diharapkan mampu memberi inspirasi pada lebih banyak praktisi bisnis maupun pemerintah untuk bersama-sama mendorong praktik perikanan berkelanjutan demi terjaganya kelestarian ekosistem dan sumber daya laut. Kampanye “Sustainable Seafood” ini bertujuan untuk meningkatkan permintaan nasional terhadap seafood berkelanjutan. Upaya yang dilakukan WWF adalah mendorong konsumen untuk mengenal gagasan hidangan laut lestari (sustainable seafood) serta lebih selektif memilih hidangan laut. Salah satu instrumen kampanye yang digunakan adalah Seafood Guide, buku saku yang berisi panduan memilih hidangan laut yang berkelanjutan.
Dengan mendorong praktik perikanan yang berkelanjutan, WWF berupaya membantu menyelamatkan industri perikanan yang terancam ini. Salah satu prinsip yang diperjuangkan adalah menjaga stok ikan dan meningkatkan mutu lingkungannya, serta membangun komitmen para aktor industri perikanan (nelayan, konsumen, dan perusahaan) dalam menciptakan perilaku dan bisnis perikanan yang berkelanjutan.
Upaya pemulihan stok ikan dan ekosistem perairan dilakukan WWF dengan mengembangkan jaringan untuk mendorong peningkatan fungsi Kawasan Konservasi Laut (MPAs). Dengan menjaga area yang bisa dieksploitasi, maka penurunan populasi ikan diharapkan dapat terselamatkan.
Melalui kampanye publik "Sustainable Seafood" diharapkan adanya peningkatan permintaan akan sustainable seafood. Melalui pembuatan seafood guide, WWF mendorong konsumen untuk mengenal gagasan hidangan laut lestari (sustainable seafood) serta lebih selektif memilih makanan laut.
Dengan kata lain yang dilakukan adalah bagaimana meningkatkan permintaan atas hidangan laut lestari dengan mensosialisasikan gagasan "sustainbale seafood" dan mendorong konsumen untuk memilih hidangan laut dengan bijak. Salah satu nstrumen kampanye yang digunakan adalah seafood guide, buku saku yang berisi panduan memilih hidangan laut yang berkelanjutan.
Di sisi lain, jaringan berbagai pelaku industri perikanan juga didorong untuk terus meningkatkan perannya dalam perikanan berkelanjutan. WWE berkerjasama dengan banyak pihak untuk melestarikan kehidupan laut lainnya seperti penyu dan cetacean (kerabat paus). Dengan diajak untuk menerima konsep alat perikanan yang meminimalisir tangkapan sampin (bycatch), para pelaku industri perikanan diharapkan akan berproduksi secara lebih efisien dan lestari. Sementara forum multipihak WWF mengembangkan program Seafood Savers untuk mendorong penerapan praktik-praktik perikanan berkelanjutan oleh para produsen, ritel, dan lembaga keuangan. Melalui usaha bersama para pemain industri seafood ini WWF berupaya mewujudkan perbaikan kegiatan perikanan di Indonesia.
Kelompok ini diharapkan mampu memberi inspirasi pada lebih banyak praktisi bisnis maupun pemerintah untuk bersama-sama mendorong praktik perikanan berkelanjutan demi terjaganya kelestarian ekosistem dan sumber daya laut. Kampanye “Sustainable Seafood” ini bertujuan untuk meningkatkan permintaan nasional terhadap seafood berkelanjutan. Upaya yang dilakukan WWF adalah mendorong konsumen untuk mengenal gagasan hidangan laut lestari (sustainable seafood) serta lebih selektif memilih hidangan laut. Salah satu instrumen kampanye yang digunakan adalah Seafood Guide, buku saku yang berisi panduan memilih hidangan laut yang berkelanjutan.
Indonesia Safe Haven for Turtles
By Jake Cohen (The Nature Conservacy)
The turtles of Runduma are learning that it's okay to come out of their shells.
That wasn't always the case. While the small Indonesian island of Runduma supports nearly a hundred nesting sea turtles each nesting season, it's also home to a community of 500 people that once drew income from capturing turtles and their eggs.
A joint program between The Nature Conservancy and WWF-Indonesia is turning Runduma into a safe haven for the endangered Green sea turtle while also creating livelihood opportunities for its human neighbors.
"Our work in Runduma — within the context of conserving the areas's marine resources — is preserving habitat for sea turtles at a time when the biggest threat they face is an inability to find good nesting ground," says Johannes Subijanto of the Conservancy's Indonesia program. "The local community has also supported the turtles and developed an encouraging interest in conservation."
A Taste for Turtles
In the past, Runduma was not the safest port of call for sea turtles. For many years, residents of the island relied on the reptiles as a food source — turtles are considered to be a delicacy in many parts of Indonesia.
Dutch colonial rule exacerbated the human threat to turtles. Villagers captured turtles and their eggs, knowing they were valuable trade items. Turtles and turtle products were a huge boon to the local economy, and the animals were exploited to the point where they were nearly eradicated from the Runduma area.
While all sea turtle species received protection thanks to a national decree in 1999, the turtle trade persisted in many areas of Indonesia. But in 2003, the Conservancy and WWF began working in the area to support Indonesia's National Park Authority, and the outlook for turtles improved.
An Appetite for Conservation
Runduma sits just outside the northeastern border of Wakatobi National Park, a 3.4-million-acre expanse of islands and sea at the heart of a partnership between WWF and the Conservancy. Much of the last decade has been spent improving local management practices and combating overfishing and destructive fishing practices within the park. Those innovations have created an appetite for conservation that has been persuasive, both to local government and people.
In 2005, the Runduma community issued a declaration banning the harvesting and trading of both turtles and their eggs. At around the same time, the Conservancy — in conjunction with WWF and the Park Authority — launched a community program around sea turtles.
Its objectives:
Monitoring the number of nesting turtles on both Runduma and nearby Anano, a small, uninhabited island.
Moving the nests and eggs of sea turtles to safer locations if they appear to be endangered by their proximity to either the shoreline or predators.
From Food to Family
The Joint Program provides training to Beach Patrol members, the people from the Runduma community who learn how to monitor turtles and transport their nests in ways that don't harm the eggs. During nesting season, which occurs from September through December each year, park rangers lead patrols of two or three Beach Patrol members through turtle beaches every day.
The program has garnered support from the local Wakatobi government, which has agreed to help pay the Beach Patrol members and is aiding in the construction of a ranger station. That assistance has reduced the pressure on the people of Runduma to illegally capture turtles.
Another initiative — called the Adopt-a-Turtle program — allows locals to help support specific nests. The adoptive parents receive a string of photographs detailing the development of their chosen nest from Beach Patrol members.
It's a remarkable achievement given the previously tense relationship between humans and turtles in Indonesia. The Green sea turtle has gone from food to family.
June 21, 2011
The turtles of Runduma are learning that it's okay to come out of their shells.
That wasn't always the case. While the small Indonesian island of Runduma supports nearly a hundred nesting sea turtles each nesting season, it's also home to a community of 500 people that once drew income from capturing turtles and their eggs.
A joint program between The Nature Conservancy and WWF-Indonesia is turning Runduma into a safe haven for the endangered Green sea turtle while also creating livelihood opportunities for its human neighbors.
"Our work in Runduma — within the context of conserving the areas's marine resources — is preserving habitat for sea turtles at a time when the biggest threat they face is an inability to find good nesting ground," says Johannes Subijanto of the Conservancy's Indonesia program. "The local community has also supported the turtles and developed an encouraging interest in conservation."
A Taste for Turtles
In the past, Runduma was not the safest port of call for sea turtles. For many years, residents of the island relied on the reptiles as a food source — turtles are considered to be a delicacy in many parts of Indonesia.
Dutch colonial rule exacerbated the human threat to turtles. Villagers captured turtles and their eggs, knowing they were valuable trade items. Turtles and turtle products were a huge boon to the local economy, and the animals were exploited to the point where they were nearly eradicated from the Runduma area.
While all sea turtle species received protection thanks to a national decree in 1999, the turtle trade persisted in many areas of Indonesia. But in 2003, the Conservancy and WWF began working in the area to support Indonesia's National Park Authority, and the outlook for turtles improved.
An Appetite for Conservation
Runduma sits just outside the northeastern border of Wakatobi National Park, a 3.4-million-acre expanse of islands and sea at the heart of a partnership between WWF and the Conservancy. Much of the last decade has been spent improving local management practices and combating overfishing and destructive fishing practices within the park. Those innovations have created an appetite for conservation that has been persuasive, both to local government and people.
In 2005, the Runduma community issued a declaration banning the harvesting and trading of both turtles and their eggs. At around the same time, the Conservancy — in conjunction with WWF and the Park Authority — launched a community program around sea turtles.
Its objectives:
Monitoring the number of nesting turtles on both Runduma and nearby Anano, a small, uninhabited island.
Moving the nests and eggs of sea turtles to safer locations if they appear to be endangered by their proximity to either the shoreline or predators.
From Food to Family
The Joint Program provides training to Beach Patrol members, the people from the Runduma community who learn how to monitor turtles and transport their nests in ways that don't harm the eggs. During nesting season, which occurs from September through December each year, park rangers lead patrols of two or three Beach Patrol members through turtle beaches every day.
The program has garnered support from the local Wakatobi government, which has agreed to help pay the Beach Patrol members and is aiding in the construction of a ranger station. That assistance has reduced the pressure on the people of Runduma to illegally capture turtles.
Another initiative — called the Adopt-a-Turtle program — allows locals to help support specific nests. The adoptive parents receive a string of photographs detailing the development of their chosen nest from Beach Patrol members.
It's a remarkable achievement given the previously tense relationship between humans and turtles in Indonesia. The Green sea turtle has gone from food to family.
June 21, 2011
Langganan:
Postingan (Atom)