By :Ahli Geologi Indonesia
Tulisan geologi popular dari IAGI
Dalam diskusi di mailist IAGI, Danny Hilman, Pakar Gempa dari LIPI memberikan beberapa pandangan menarik serta meneruskan diskusi sebelumnya dari Bung Irwan, Pak Awang, dan rekan-rekan lain, ada beberapa fakta dan pemikiran kunci dari kejadian gempa-tsunami di Jepang tersebut, sbb:
FAKTA:
1. Para ahli Jepang sudah salah memperkirakan (”underestimate”) potensi gempa-tsunami di zona subduksi segmen Miyagi ini. Prediksi gempa yang diberlakukan (dalam peraturan) adalah tidak melebihi skala magnitude 8. Alasannya: di bagian ini pergerakan penunjaman lempeng sebagian besar diakomodasi secaca “aseismic” (tidak terkunci - “uncoupled”) dan juga dimensi luasnya tidak besar (karena ada segmentasi fisik). Alasan kenapa segmen Miyagi ini “uncoupled” adalah karena subducted slabnya sangat tua (~140 MY), sehingga dingin dan berat dan tidak mampu menekan kep. Jepang.
2.Kontradiksi dengan anggapan (resmi) di atas Minoura et al (2001) sudah memperingatkan bahwa segmen ini sangat berbahaya karena menurut peneltan paleosesmologi-paleotsunami pernah terjadi gempa dahsyat yang membangkitkan tsunami setinggi 8m di pantai pada tahun 869 AD, disebut sebagai Jogan tsunami. Besar magnitude perkiraannya M8.3 - tentu ini sangat kasar karena data geodesi dan seismiknya tidak ada (hanya berdasarkan rekonstruksi endapan tsunami). Yang juga sangat menarik Minoura memperkirakan bahwa recurrence interval dari “supercycle” gempa besar ini adalah ~1000 tahun!
PEMIKIRAN:
Anggapan subduksi lempeng tua dll - sifat aseismic zona subduksi perlu ditinjau ulang. Kasus Gempa Aceh 2004 juga sama. Sebelumnya para ahli men-cap segmen Aceh-Andaman ini tidak mampu mengeluarkan gempa >M8. Demikian juga dengan gempa Bengkulu 2007. Saya dkk-pun tidak menyangka bisa ada gempa >M8 di sini karena dari jaringan GPS wilayah ini sebagian besar interface-nya “uncoupled/unlocked”. Kelihatannya potensi maximum suatu sumber gempa hanya masalah “time window” saja.
Hasil studi Minoura bahwa perioda ulang gempa M>8 di Miyagi ini ~1000 tahunan sangat menarik. Ingat bahwa relative plate motion di situ sekitar 8 cm/tahun sehingga untuk mengumpulkan regangan/strain sebesar 15m 9setara M8.9) hanya diperlukan waktu sekitar: 15m/8cm ~ 200 tahunan saja. Artinya “coefficient of coupling” (prosentase kuncian) dari subduction interface-nya paling banter hanya sekitar 20% saja (i.e. 80% aseismic atau steady slip/creeping). Jadi zona subduksi yang dominan aseismic tidak berarti tidak mampu memproduksi gempa raksasa — hanya masalah waktu saja!
Hubungan dengan INDONESIA:
Sebagian besar para ahli menganggap bahwa zona subduksi di wilayah Selat Sunda dan Selatan Jawa adalah ASEISMIC. Alasan untuk Selat Sunda karena wilayah ini didominasi oleh extensional tectonics (seperti halnya juga segmen Aceh-Andaman!). Subduksi Selatan Jawa diangap aseismic dan tidak mampu menghasilkan gempa di atas 8 karena Australian plate yang disubduksikannya sangat tua (di atas 150MY) seperti halnya yang di Miyagi (termasuk menurut Prof. Hiroo Kanamori - bekas guru saya di Caltech - tapi kayanya dia sekarang sudah berpikir ulang). Nah anggapan ini tentu HARUS DIKAJI ULANG, terutama karena segmen zona subduksi ini yang paling dekat dengan JAKARTA (dan rencana PLTN di BaBel).
Perihal maximum magnitude dari zona subduksi di Selatan Jawa menjadi salah satu perdebatan seru diantara rekan-rekan Tim-9 ketika dalam proses pembuatan Peta Zonasi Bahaya Gempa (PSHA) yang sudah dipublikasikan Juni 2010 lalu. Dari historis dan data seismik (sejak 100 tahun terakhir) besar gempa maksimum hanya M7.7 (e.g. Gempa-tsunami Jawa Timur 1994 dan gempa-tsunami Pangandaran 2006). Data paleotsunami/paleoseismologi seperti Minoura 2001 kita tidak punya dan data GPS-pun tidak juga, maka akhirnya kami memutuskan untuk sementara ini memberikan Maximum Gempa M8.0 untuk selatan Jawa (ini yang diberlakukan di Peta Zonasi Gempa Indonesia yang terbaru/tahun 2010).
Semoga dapat berguna untuk menjadi bahan pemikiran dan menindaklanjutinya.
Wassalam,
Danny Hilman N
Tidak ada komentar:
Posting Komentar