Dahono Fitrianto | Nasru Alam Aziz | Jumat, 13 Januari 2012 | 23:41 WIB
SINGAPURA, KOMPAS.com -- Para peneliti dari firma riset Atmospheric and Environmental Research di AS menemukan sebuah pola yang menunjukkan bahwa musim panas yang lebih panas dari biasanya di Belahan Bumi Utara ternyata mengganggu pola cuaca dan memicu musim dingin ekstrem yang terjadi di kawasan AS dan Eropa.
Jucah Cohen, ketua tim riset yang mempublikasikan temuan mereka di jurnal ilmiah Environmental Research Letters, Jumat (13/1/2012), mengatakan ada kecenderungan pemanasan suhu udara di kawasan Artik dekat Kutub Utara pada periode Juli sampai September.
Prakiraan selama ini menyebutkan, tren pemanasan suhu udara itu juga akan terjadi pada musim dingin. Namun, Cohen dan timnya menemukan prakiraan itu tidak selalu tepat untuk seluruh kawasan, yang menunjukkan bahwa sistem iklim Bumi sangatlah kompleks.
"Selama dua dekade terakhir, kecenderungan pendinginan skala besar justru terjadi di kawasan luas di sekitar Amerika Utara sebelah timur dan Eurasia sebelah utara. Kami menduga tren yang tidak terprakirakan sebelumnya ini kemungkinan tidak bergantung pada variabilitas internal saja," ujar ilmuwan tersebut.
Dengan melihat data suhu udara, curah hujan, salju, dan es, tim tersebut menemukan bahwa pemanasan suhu udara pada musim panas di kawasan Artik menyebabkan atmosfer menyimpan kandungan uap air yang lebih besar, yang akan memicu peningkatan curah hujan salju pada musim gugur di daerah-daerah yang terletak di koordinat lintang tinggi (di atas 60 derajat Lintang Utara).
Analisis data tersebut juga menunjukkan, sebaran salju rata-rata di kawasan Eurasia telah meningkat dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Penambahan salju ini pada gilirannya memicu perubahan Osilasi Artik, yakni pola tekanan atmosfer utama yang menentukan pola cuaca musim dingin di Belahan Bumi Utara.
Saat osilasi ini berada di fasa negatif, sel-sel cuaca bertekanan tinggi di kawasan Artik akan mendorong udara dingin ke kawasan di koordinat lintang menengah (antara 23 derajat Lintang Utara sampai 66 derajat Lintang Utara), memicu suhu yang lebih rendah dari biasanya dan badai salju dahsyat.
Penelitian yang dilakukan Cohen dan kawan-kawan ini adalah satu dari berbagai studi terbaru yang mengungkapkan kompleksitas sistem iklim dunia dan bahwa para ilmuwan pun masih mempelajari seberapa besar pengaruh manusia dan faktor-faktor alami terhadap pola iklim jangka panjang.