Posted on 13 August 2011 from WWF Indonesia
Sebagai kawasan konservasi laut terluas di Indonesia, Taman Nasional Teluk Cenderawasih di Papua Barat memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, habitat terumbu karang, dan beragam spesies laut langka. Salah satu spesies unik yang terdapat di wilayah ini adalah hiu paus, spesies ikan terbesar di dunia. Di Teluk Cenderawasih, ikan raksasa ini dapat dengan mudah dijumpai.
Hiu Paus (Rhincodon typus) kerap kali menampakkan dirinya di permukaan air. Umumnya mereka muncul di sekitar bagan (rumah terapung tempat menangkap ikan) yang banyak ditemukan di sepanjang perairan Kwatisore. Sekumpulan ikan puri (ikan-ikan kecil) yang terkumpul di jaring-jaring nelayan tersebut menjadi magnet bagi sekawanan hiu paus tersebut.
Fenomena itulah yang menjadikan kawasan perairan Indonesia timur ini memiliki potensi yang besar untuk pengembangan industri ekowisata, jelas Dr. Brent Steward, Peneliti senior lembaga penelitian non profit berbasis di California,HUBBS Seaworld Institute dalam laporan terbarunya tentang pelatihan monitoring hiu paus di Teluk Cenderawasih. Pada kegiatan capacity building yang diselenggarakan oleh WWF-Indonesia, Taman Nasional Teluk Cenderawasih, dan Papua Pro (operator ekowisata) pada 2-7 Mei 2011 lalu, ilmuwan HUBBS tersebut memberikan pembekalan teknis kepada para peserta workshop dan memasang pop-up tag pada seekor hiu paus jantan.
Pada laporan teknis yang ditulisnya, Brent juga memaparkan keunikan lainnya dari hiu paus di Kwatisore. Para nelayan lokal di sekitar bagan biasa memanggil hiu paus dengan menepuk-nepuk permukaan air seraya melempar segenggam ikan puri. Tidak lama kemudian, gerombolan satwa langka ini pun berenang mendekati bagan, membuka mulutnya yang lebar, dan melahap ikan puri. Pada masa-masa inilah, interaksi dengan hiu paus dapat dengan mudah dilakukan. Mereka umumnya berenang-renang di sekitar bagan dalam waktu yang lama, bahkan seringkali muncul di permukaan. Pemandangan langka yang tidak didapatkan di lokasi agregasi hiu paus lainnya.
Tingginya intensitas interaksi dengan hiu paus di Kwatisore, menurut ahli spesies laut tersebut, perlu diimbangi dengan pengembangan panduan interaksi hiu paus. Hal itu penting untuk menjamin agar aktivitas pengamatan hiu paus yang dilakukan tidak memberikan dampak buruk bagi kelestarian ikan raksasa itu. Untuk memfasilitasi pengembangan panduan dan program peningkatan kapasitas serta dalam rangka membantu mengelola kelestarian hiua paus di Taman Nasional Teluk Cenderawasih, ia menekankan pentingnya pengembangan Monitoring and Research Program (MRP) yang dapat diselaraskan dengan aktivitas dan industri ekowisata. MRP ini nantinya juga akan mengevaluasi potensi dampak (positif dan negatif) yang mungkin ditimbulkan oleh aktivitas para nelayan yang sering memberi makan hiu paus di sekitar bagan.
Sabtu, 20 Agustus 2011
Karbon, Ancaman Lain Kehidupan Laut
OLEH ABIYU PRADIPA | 14-07-2011 from NATIONAL GEOGRAPHIC INDONESIA
Kehidupan laut juga terancam oleh emisi karbon. Hal ini dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan oleh dua peneliti asal Inggris dan Australia yang menemukan banyaknya material organik terkubur dalam lapisan sedimen tak beroksigen yang berasal dari 85 juta tahun yang lalu.
Menggunakan sampel material yang digali dari dasar samudra di kawasan barat Afrika, kedua peneliti mempelajari lapisan sedimen dari periode Late Cretaceous (85 juta tahun lalu) selama jangka waktu 400 ribu tahun. Hasilnya, mereka mendapati bahwa banyak material organik (kehidupan laut) terkubur di dalam lapisan sedimen tak beroksigen.
“Penelitian kami membuktikan adanya kematian massal di samudra ketika Bumi menjalani proses efek rumah kaca dengan tingginya karbon dioksida di atmosfer dan kenaikan temperatur yang menyebabkan anjloknya oksigen yang dibutuhkan para hewan di air,” kata Kennedy.
Kennedy menyebutkan, jumlah karbon dioksida di atmosfer yang berlipat ganda dalam 50 tahun ke depan akan menjadi hantaman telak bagi ekosistem laut. Kepunahan massal kehidupan laut masa prasejarah bisa jadi peringatan. Pasalnya, efek rumah kaca bisa menghadirkan hal serupa.
Saat ini dead zone, kawasan dengan jumlah oksigen sangat minimal sehingga nyaris tidak mungkin menopang kehidupan, sudah semakin meluas di sejumlah lokasi dan samudra di seluruh dunia. Luas total zona minim oksigen di lautan melebihi 240.000 kilometer persegi. Area tersebut tersebar di beberapa negara. Zona terbesar ada di Mississippi, Amerika Serikat, yang mencapai lebih dari 22.000 kilometer persegi. “Banyak kawasan perairan yang kekurangan oksigen dan mengalami peningkatan karbon dioksida, temperatur, polusi dari limbah pertanian, serta faktor pemicu lain,” ucapnya. Dead zone bisa terjadi secara alami. Akan tetapi, aktivitas manusia membuat laju pertambahan kawasan itu lebih cepat.
Temuan ini sendiri dipublikasikan di jurnal Proceedings of the National Academy of Science. (Sumber: Cosmos Magazine)
Kehidupan laut juga terancam oleh emisi karbon. Hal ini dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan oleh dua peneliti asal Inggris dan Australia yang menemukan banyaknya material organik terkubur dalam lapisan sedimen tak beroksigen yang berasal dari 85 juta tahun yang lalu.
Menggunakan sampel material yang digali dari dasar samudra di kawasan barat Afrika, kedua peneliti mempelajari lapisan sedimen dari periode Late Cretaceous (85 juta tahun lalu) selama jangka waktu 400 ribu tahun. Hasilnya, mereka mendapati bahwa banyak material organik (kehidupan laut) terkubur di dalam lapisan sedimen tak beroksigen.
“Penelitian kami membuktikan adanya kematian massal di samudra ketika Bumi menjalani proses efek rumah kaca dengan tingginya karbon dioksida di atmosfer dan kenaikan temperatur yang menyebabkan anjloknya oksigen yang dibutuhkan para hewan di air,” kata Kennedy.
Kennedy menyebutkan, jumlah karbon dioksida di atmosfer yang berlipat ganda dalam 50 tahun ke depan akan menjadi hantaman telak bagi ekosistem laut. Kepunahan massal kehidupan laut masa prasejarah bisa jadi peringatan. Pasalnya, efek rumah kaca bisa menghadirkan hal serupa.
Saat ini dead zone, kawasan dengan jumlah oksigen sangat minimal sehingga nyaris tidak mungkin menopang kehidupan, sudah semakin meluas di sejumlah lokasi dan samudra di seluruh dunia. Luas total zona minim oksigen di lautan melebihi 240.000 kilometer persegi. Area tersebut tersebar di beberapa negara. Zona terbesar ada di Mississippi, Amerika Serikat, yang mencapai lebih dari 22.000 kilometer persegi. “Banyak kawasan perairan yang kekurangan oksigen dan mengalami peningkatan karbon dioksida, temperatur, polusi dari limbah pertanian, serta faktor pemicu lain,” ucapnya. Dead zone bisa terjadi secara alami. Akan tetapi, aktivitas manusia membuat laju pertambahan kawasan itu lebih cepat.
Temuan ini sendiri dipublikasikan di jurnal Proceedings of the National Academy of Science. (Sumber: Cosmos Magazine)
Pemanasan Global Sebabkan Polutan Berbahaya Muncul Kembali
OLEH ABIYU PRADIPA | 25-07-2011 from NATIONAL GEOGRAPHIC INDONESIA
Pemanasan global menyebabkan bahan kimia berbahaya, yang disebut “Dirty Dozen” termasuk DDT, yang sangat beracun kembali terbebas ke udara dari bongkahan es di lautan Kutub Utara. Temuan ini merupakan hasil penelitian yang dilaporkan dalam jurnal Nature Climate Change.
Dirty Dozen merupakan istilah untuk polutan organik yang gigih (persistent organic pollutants, disingkat POP), bahan kimia berbahaya yang umum digunakan di insektisida dan pestisida, yang sejak tahun 2001 dilarang untuk dipakai.
Bahan-bahan kimia ini terdiri dari molekul yang sangat kuat sehingga alam membutuhkan waktu beberapa dekade untuk menguraikannya. Mereka juga bisa terus berada di rantai makanan, menghadirkan ancaman kesuburan bagi spesies yang berada di puncak rantai makanan. Parahnya, POPs juga tidak larut di air dan lekas menguap sehingga mereka bisa dengan mudah berpindah dari tanah dan air ke atmosfer jika terkena suhu tinggi.
Peneliti mendapati adanya penurunan konsentrasi tiga bahan kimia berbahaya, seperti DDT, HCH, dan cischlordane, di atmosfer sepanjang 1993 sampai 2009. Namun dari data yang sama, peneliti mendapati bahwa adanya peningkatan emisi POP yang sebelumnya sudah terkunci di dalam es di kutub utara. Artinya, secara bertahap dilepaskan kembali ke atmosfer akibat adanya pemanasan suhu di kawasan tersebut.
“Sejumlah POP telah kembali ke atmosfer di atas Kutub Utara akibat perubahan iklim dan kejadian ini dapat menghambat upaya untuk mengurangi terkenanya bahan kimia beracun pada manusia,” kata Jianmin Ma, ketua tim peneliti dari Environment Canada.
Jordi Dachs, peneliti dari Institute of Environmental Assessment and Water Research, menyebutkan bahwa temuan itu merupakan kabar buruk. Akibat pemanasan global, Kutub Utara telah mengalami kerusakan dua sampai tiga kali lebih parah dibandingkan dengan bagian lain di planet ini. "Kutub Utara bisa menjadi pelopor dalam pelepasan POP. Mungkin akan terjadi juga dari tempat penyimpanan lain, termasuk tanah dan laut dalam," kata Dachs.
“Tampaknya, polutan ini akan memengaruhi lingkungan dalam jangka waktu yang lebih panjang dibanding perkiraan sebelumnya,” kata Dachs. “Polutan yang dihasilkan oleh kakek dan nenek kita, yang jadi bukti perusakan lingkungan di masa lalu, kini muncul kembali,” ucapnya. (Sumber: news24.com)
Pemanasan global menyebabkan bahan kimia berbahaya, yang disebut “Dirty Dozen” termasuk DDT, yang sangat beracun kembali terbebas ke udara dari bongkahan es di lautan Kutub Utara. Temuan ini merupakan hasil penelitian yang dilaporkan dalam jurnal Nature Climate Change.
Dirty Dozen merupakan istilah untuk polutan organik yang gigih (persistent organic pollutants, disingkat POP), bahan kimia berbahaya yang umum digunakan di insektisida dan pestisida, yang sejak tahun 2001 dilarang untuk dipakai.
Bahan-bahan kimia ini terdiri dari molekul yang sangat kuat sehingga alam membutuhkan waktu beberapa dekade untuk menguraikannya. Mereka juga bisa terus berada di rantai makanan, menghadirkan ancaman kesuburan bagi spesies yang berada di puncak rantai makanan. Parahnya, POPs juga tidak larut di air dan lekas menguap sehingga mereka bisa dengan mudah berpindah dari tanah dan air ke atmosfer jika terkena suhu tinggi.
Peneliti mendapati adanya penurunan konsentrasi tiga bahan kimia berbahaya, seperti DDT, HCH, dan cischlordane, di atmosfer sepanjang 1993 sampai 2009. Namun dari data yang sama, peneliti mendapati bahwa adanya peningkatan emisi POP yang sebelumnya sudah terkunci di dalam es di kutub utara. Artinya, secara bertahap dilepaskan kembali ke atmosfer akibat adanya pemanasan suhu di kawasan tersebut.
“Sejumlah POP telah kembali ke atmosfer di atas Kutub Utara akibat perubahan iklim dan kejadian ini dapat menghambat upaya untuk mengurangi terkenanya bahan kimia beracun pada manusia,” kata Jianmin Ma, ketua tim peneliti dari Environment Canada.
Jordi Dachs, peneliti dari Institute of Environmental Assessment and Water Research, menyebutkan bahwa temuan itu merupakan kabar buruk. Akibat pemanasan global, Kutub Utara telah mengalami kerusakan dua sampai tiga kali lebih parah dibandingkan dengan bagian lain di planet ini. "Kutub Utara bisa menjadi pelopor dalam pelepasan POP. Mungkin akan terjadi juga dari tempat penyimpanan lain, termasuk tanah dan laut dalam," kata Dachs.
“Tampaknya, polutan ini akan memengaruhi lingkungan dalam jangka waktu yang lebih panjang dibanding perkiraan sebelumnya,” kata Dachs. “Polutan yang dihasilkan oleh kakek dan nenek kita, yang jadi bukti perusakan lingkungan di masa lalu, kini muncul kembali,” ucapnya. (Sumber: news24.com)
Gunung Api Bawah Laut Ditemukan di Kutub Selatan
OLEH GLORIA SAMANTHA | 27-07-2011 from NATIONAL GEOGRAPHIC INDONESIA
Sebanyak 12 gunung api yang berlokasi di bawah lautan beku ditemukan di kawasan Kutub Selatan--beberapa gunung api tersebut masih aktif. Selain itu, tim ekspedisi juga menemukan kawah berdiameter 5.000 meter yang diduga terbentuk akibat letusan gunung berapi.
Rangkaian gunung berapi bawah laut ini terbentang di South Sandwich Islands. Letaknya terpencil dan air laut di atasnya sebagian tertutup salju. Phil Leat dari British Antarctic Survey mengaku mereka sendiri terkejut oleh penemuan itu. "Masih banyak rahasia gunung berapi di bawah laut yang belum bisa kita pahami," katanya.
Puncak-puncak gunung tidak terlihat dari permukaan laut. Mereka baru terlihat dengan bantuan perangkat pemetaan tiga dimensi. Meskipun demikian, peneliti yakin yang mereka temukan memang gunung berapi. Tim British Antarctic Survey menggunakan teknologi pemetaan yang terpasang di kapal RRS James Clark Ross. Ini merupakan penemuan gunung berapi bawah laut untuk kali pertama di kawasan tersebut.
Leat menyebut, penemuan ini penting karena bisa membantu memahami kejadian terkait letusan gunung berapi bawah laut. Mereka juga bisa mengenali potensi bahaya yang akan terjadi. "Teknologi pemetaan bawah laut yang ada sekarang ini tak cuma menyuguhkan sepotong cerita tentang evolusi planet bumi, melainkan memberi petunjuk mengenai seberapa bahaya ancaman yang ditimbulkan," jelas Leat.
Selain itu, para peneliti juga tertarik menelaah kehidupan keanekaragaman kehidupan di wilayah sekitar gunung api bawah laut tersebut.
Sebanyak 12 gunung api yang berlokasi di bawah lautan beku ditemukan di kawasan Kutub Selatan--beberapa gunung api tersebut masih aktif. Selain itu, tim ekspedisi juga menemukan kawah berdiameter 5.000 meter yang diduga terbentuk akibat letusan gunung berapi.
Rangkaian gunung berapi bawah laut ini terbentang di South Sandwich Islands. Letaknya terpencil dan air laut di atasnya sebagian tertutup salju. Phil Leat dari British Antarctic Survey mengaku mereka sendiri terkejut oleh penemuan itu. "Masih banyak rahasia gunung berapi di bawah laut yang belum bisa kita pahami," katanya.
Puncak-puncak gunung tidak terlihat dari permukaan laut. Mereka baru terlihat dengan bantuan perangkat pemetaan tiga dimensi. Meskipun demikian, peneliti yakin yang mereka temukan memang gunung berapi. Tim British Antarctic Survey menggunakan teknologi pemetaan yang terpasang di kapal RRS James Clark Ross. Ini merupakan penemuan gunung berapi bawah laut untuk kali pertama di kawasan tersebut.
Leat menyebut, penemuan ini penting karena bisa membantu memahami kejadian terkait letusan gunung berapi bawah laut. Mereka juga bisa mengenali potensi bahaya yang akan terjadi. "Teknologi pemetaan bawah laut yang ada sekarang ini tak cuma menyuguhkan sepotong cerita tentang evolusi planet bumi, melainkan memberi petunjuk mengenai seberapa bahaya ancaman yang ditimbulkan," jelas Leat.
Selain itu, para peneliti juga tertarik menelaah kehidupan keanekaragaman kehidupan di wilayah sekitar gunung api bawah laut tersebut.
Langganan:
Postingan (Atom)