By: Tenni Purwanti | Tri Wahono | Minggu, 17 Juli 2011 | 22:48 WIB from kompas
KOMPAS.com - Indonesia dengan luas wilayahnya yang sebagian besar lautan, sepantasnya disebut negara maritim. Namun, sebutan negara maritim yang sudah melekat pada masyarakat Indonesia ternyata belum terbukti. Masih banyak yang harus diperbaiki terutama dalam hal eksplorasi kelautan.
Hal ini disampaikan Prof. Jamaludin Jompa dari Coral Reef Rehabilitation and Management dalam forum weekend tentang Konservasi Kelautan Indonesia. "Apa yang menunjukkan kita negara maritim? Penelitian-penelitian kita saja masih terlalu kecil untuk bisa mengetahui potensi maritim yang dimiliki Indonesia," ujar Jamaludin di Newseum, Jakarta, Sabtu (16/7/2011).
Padahal, menurut Jamaludin, Indonesia termasuk ke dalam Coral Triangle, yakni Negara dengan potensi maritim terbesar di dunia. "Di dunia ini, ada tiga besar wilayah yang memiliki potensi maritim terutama terumbu karang terbesar, yakni wilayah Amazon di Amerika, wilayah Congo Basir di Afrika, dan Coral Triangle di Indonesia. Enam puluh persen terumbu karang Indonesia ada di wilayah timur, dengan jumlah lebih dari 500 spesies," jelasnya.
Dr. Yulian Paonganan, Msc, Direktur Indonesia Maritime Institute yang juga hadir dalam forum ini menambahkan, Indonesia memiliki potensi maritim senilai Rp 7 ribu trilyun per tahun. "Angka tersebut bisa didapatkan Indonesia jika potensi maritim dikelola dengan baik. Indonesia adalah negara dengan hasil alam yang besar, namun tidak bisa mengolahnya. Hampir 90 persen potensi migas kita dikelola asing. Bahkan mungkin tidak banyak yang tahu kalau Raja Ampat adalah penghasil nikel terbesar di dunia. Kapal Sinar Kudus yang dibajak kemarin juga membawa nikel Indonesia senilai Rp 6,5 trilyun, padahal baru berupa kapal kecil," ujarnya.
Yulian menambahkan, sayangnya pelaksanaan konservasi kelautan Indonesia masih berbentuk parsial. "Indonesia masih terkotak-kotak dengan desa, kecamatan, kabupaten, padahal pengelolaan sumber daya alam harus terintegrasi, bukan parsial. Contohnya, apa yang dilakukan di gunung, akan berpengaruh di laut. Tapi tidak banyak masyarakat atau aparat pemerintah yang tahu sampai sejauh ini," tambahnya.
Irwan Mulyawan dari Ikatan Sarjana Kelautan, dalam forum ini menambahkan, masalah otonomi memang menjadi salah satu masalah maritim di Indonesia. "Hal-hal yang menyebabkan Indonesia masih jauh dari istilah negara maritim adalah karena tumpang tindihnya masalah otonomi. Para pejabat di daerah masih belum bersinergi untuk mengelola kelautan secara bersama-sama. Selain itu, belum adanya pendanaan khusus untuk pengelolaan. Tapi pengelolaan juga butuh penelitian dan penelitian ini masih sangat minim karena belum ada indikator yang efektif untuk mengukur keseimbangan ekologi," ujar Irwan.
Prof. Jamaludin juga menyampaikan bahwa masalah utama sulitnya Indonesia menjadi negara maritim adalah masalah penelitian. "Kemampuan riset dan teknologi Indonesia masih jauh dari negara lain. Maritim Indonesia masih terlalu misteri untuk dikelola dengan mudah. Indonesia banyak mengalami pencurian karena penelitian yang kurang. Kita tidak tahu bahwa potensi alam kita sudah dicuri oleh negara lain karena pengetahuan kita akan kekayaan laut sangat kurang. Oleh karena itu, masalah fundamental yang harus dibenahi sekarang ini adalah memahami kekayaan laut Indonesia," jelas Jamaludin.
Sementara Yulian menambahkan, Indonesia juga sering melakukan penelitian yang tidak berkelanjutan. "Banyak penelitian yang tidak berkelanjutan. Padahal hasil penelitian harus berupa aplikator agar bisa dipakai untuk eksplorasi. Namun kenyataannya, berapa banyak penelitian mahasiswa yang berhenti setelah mendapat gelar sarjana? Bagaimana dengan pembangunan dermaga yang masih setengah jadi sudah ditinggalkan? Contoh-contoh seperti ini harus menjadi perhatian. Aktivis, akademisi, dan penentu kebijakan di Republik ini harus nyambung. Ketiga elemen ini harus bekerja sama agar penelitian bisa berkelanjutan, diaplikasikan, sekaligus diawasi," ungkapnya.
Prof. Jamaludin mengungkapkan bahwa CTI (Coral Trader Inisiative) bisa diberlakukan di Indonesia. "Seharusnya sebagai wilayah dalam Coral Triangle, Indonesia bisa menjual terumbu karang lebih banyak, namun sekali lagi, hanya apabila dikelola dengan baik. Ada lima hal yang harus diperhatikan agar kita berhasil dalam CTI, yakni bentang laut dikelola secara bersama-sama, bukan per desa atau per kabupaten karena laut merupakan satu kesatuan.
Kedua, Indonesia harus lebih paham isi laut sebelum mengelola ekosistem. Ketiga, kelola kawasan konservasi laun dalam konteks networking (peneliti-aktifis-penentu kebijakan-pebisnis-masyarakat). Keempat adanya kesadaran bahwa spesies harus segera diperbaiki karena keragaman genetika adalah masa depan populasi manusia.
Terakhir, Indonesia harus peduli bahwa perubahan iklim sudah terjadi di laut Indonesia, misalnya dengan terjadinya coral bleaching di mana warna terumbu karang berubah karena polusi sehingga sulit untuk dijual.
Senin, 25 Juli 2011
Minggu, 24 Juli 2011
Langkah awal menuju sertifikasi MSC perikanan karang dan tuna Indonesia
Oleh: Abdullah Habibi from WWF Indonesia (click here)
Jakarta (21/06)-Sebagai tindak lanjut konsultasi perbaikan perikanan Karang dan Tuna yang diadakan di Bogor pada Oktober 2010 lalu, Kementrian Kelautan dan Perikanan bersama dengan WWF Indonesia menggelar pertemuan Sosialisasi Program Perbaikan Perikanan Tuna menuju sertifikasi Marine Stewardship Council (MSC) pada 21 Juni 2011 di Hotel Kartika Chandra, Jakarta. Pada pertemuan itu, serangkaian dokumen berisi panduan rencana aksi perikanan karang (Kakap dan Kerapu), rencana aksi perikanan tuna (madidihang, mata besar, cakalang) serta usulan Rencana Pengelolaan Perikanan Tuna disosialisasikan.
Sejumlah pihak terkait dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, Komisi Tuna Indonesia, industri dan asosiasi perikanan Tuna (ANOVA Co., PT. Chen Woo Fishery, Asosiasi Tuna Indonesia (ASTUIN), GAPPINDO, MPN), WWF-Indonesia SFP ), serta IMACS menghadiri forum tersebut.
Desakan dari konsumen yang telah menyadari isu kelestarian sumberdaya ikan, memaksa mayoritas retailer besar di Amerika dan Eropa untuk berkomitmen hanya membeli produk perikanan yang tersertifikasi MSC. Persyaratan sertifikasi ini mulai diberlakukan padatahun 2012. Di masa depan bukan tidak mungkin kontrol konsumen terhadap pentingnya perikanan yang berkelanjutan pun akan berlaku di semua negara di dunia.
Lalu bagaimana dengan Indonesia?Sebagai salah satu penghasil ikan karang dan tuna nomor empat dunia, Indonesia pun harus siap untuk menerapkan sertifikasi ini pada para pengusaha perikanan yang akan mengekspor ikannya ke luar negeri. Pada 2009, WWF-Indonesia bersama dengan Direktorat Pemasaran Luar Negeri – KKP telah memfasilitasi beberapa perusahaan untuk melakukan penilaian awal terhadap kesiapan mereka mendapatkan sertifikasi MSC. Hasilnya menunjukkan adanya nilai-nilai positif pada pengelolaan perikanan di Indonesia yang harus dijaga. Tidak hanya itu, penelitian tersebut juga mengidentifikasi hal-hal terkait penelitian, peraturan perikanan dan implementasinya serta pengembangan kelembagaan perikanan yang perlu diperkuat agar industri perikanan Indonesia dapat meraih sertifikasi ekolabel ini.
Namun, untuk menerapkan standar MSC, diperlukan perubahan mendasar dalam praktek-praktek pengelolaan perikanan di Indonesia. Dalam hal ini, pengelolaan perikanan harus difokuskan pada keberlanjutan sumber daya ikan dan bukannya meningkatkan jumlah produksi tanpa memperdulikan kelestarian stok ikan tersebut seperti yang selama ini banyak dijalankan.
Seperti yang terungkap dalam pertemuan tersebut, perjalanan menuju sertifikasi MSC akan memerlukan waktu yang panjang dan kerja keras oleh semua pihak. Ketua Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Dr. Purwito Martosubroto mengemukakan pentingnya peran pemerintah dalam mendukung upaya pencapaian sertifikasi tersebut.“Keberlangsungan stok ikan bukan hanya tanggung jawab pengusaha sendiri. Dalam pengelolaannya, ada aturan-aturan yang ditetapkan dan harus diikuti di setiap daerah, dan yang memiliki wewenang atas penetapan aturan itu adalah pemerintah. Karena itu, pemerintah memiliki andil besar dalam proses mendapatkan sertifikasi ini," ungkapnya.
Lebih lanjut, Dr. Purwito menekankan perlunya langkah kerja struktural yang harus disusun dengan jelas. Menurutnya, harus dibuat dulu academic paper yang jelas, siapa yang mengerjakan apa, siapa yang bertanggung jawab terhadap apa, serta tanggung jawab strukturalnya masing-masing. Seperti yang telah diagendakan, pertemuan ini juga membahas usulan organogram untuk rencana kerja pengelolaan perikanan tuna Indonesia. Dalam pembahasan ini dijelaskan tugas-tugas setiap lembaga, siapa saja yang bertanggung jawab pada rencana kerja tertentu, langkah-langkah yang harus diambil, dan sebagainya.
Richard Banks yang mewakili WWF dalam aktivitas perbaikan perikanan menekankan agar setiap pihak fokus pada kerangka kerja ini dan meninggalkan kekhawatiran-kekhawatiran yang berlebihan dalam perencanaannya.
Sementara itu, Imam Musthofa, Koordinator Nasional Program Perikanan WWF-Indonesia, dalam presentasinya mencoba mengembalikan pembicaraan kepada kerangka kerja yang sudah disusun. Pertimbangan-pertimbangan mengenai Program Perbaikan Perikanan sudah dibicarakan dalam workshop yang diadakan di Bogor tahun 2010 sebelumnya, sehingga pertemuan ini adalah pertemuan untuk membahas kelanjutan dari rencana kerja yang telah disusun, bagaimana perkembangannya, dan apa langkah selanjutnya.
Blane Olson dari Anova Seafood Group, importir perikanan Indonesia yang mendukung sertifikasi MSC, yakin bahwa Indonesia mampu mendapatkan sertifikasi ini. “Tentu saja banyak pihak yang harus dilibatkan. Kunci agar sertifikasi ini bisa didapatkan adalah adanya dukungan dari semua pihak yang terkait, bekerja sama dengan pengusaha, pemerintah. Jika pemerintah mau melakukan perubahan dengan menetapkan peraturan dan pengembangan program dengan waktu yang terukur serta membangun partnership dengan LSM atau lembaga-lembaga lain, saya yakin semua bisa diwujudkan,” paparnya.
Senada dengan Blane Olson, Direktur Sumberdaya Ikan KKP Agus A. Budhiman juga menggarisbawahi pentingnya dukungan dari pemerintah. Ia meyakinkan peserta pertemuan ini dengan menyatakan dukungannya terhadap konsep MSC untuk keberlangsungan stok ikan dengan berbagai cara. “Kita memahami hal ini penting. Bagaimanapun pengusaha perlahan-lahan akan menyadari bahwa laut tidak boleh “dikuras”. SDI pun telah menerapkan peraturan pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab demi mencapai hasil laut yang sustainable,” pungkasnya.
Jakarta (21/06)-Sebagai tindak lanjut konsultasi perbaikan perikanan Karang dan Tuna yang diadakan di Bogor pada Oktober 2010 lalu, Kementrian Kelautan dan Perikanan bersama dengan WWF Indonesia menggelar pertemuan Sosialisasi Program Perbaikan Perikanan Tuna menuju sertifikasi Marine Stewardship Council (MSC) pada 21 Juni 2011 di Hotel Kartika Chandra, Jakarta. Pada pertemuan itu, serangkaian dokumen berisi panduan rencana aksi perikanan karang (Kakap dan Kerapu), rencana aksi perikanan tuna (madidihang, mata besar, cakalang) serta usulan Rencana Pengelolaan Perikanan Tuna disosialisasikan.
Sejumlah pihak terkait dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, Komisi Tuna Indonesia, industri dan asosiasi perikanan Tuna (ANOVA Co., PT. Chen Woo Fishery, Asosiasi Tuna Indonesia (ASTUIN), GAPPINDO, MPN), WWF-Indonesia SFP ), serta IMACS menghadiri forum tersebut.
Desakan dari konsumen yang telah menyadari isu kelestarian sumberdaya ikan, memaksa mayoritas retailer besar di Amerika dan Eropa untuk berkomitmen hanya membeli produk perikanan yang tersertifikasi MSC. Persyaratan sertifikasi ini mulai diberlakukan padatahun 2012. Di masa depan bukan tidak mungkin kontrol konsumen terhadap pentingnya perikanan yang berkelanjutan pun akan berlaku di semua negara di dunia.
Lalu bagaimana dengan Indonesia?Sebagai salah satu penghasil ikan karang dan tuna nomor empat dunia, Indonesia pun harus siap untuk menerapkan sertifikasi ini pada para pengusaha perikanan yang akan mengekspor ikannya ke luar negeri. Pada 2009, WWF-Indonesia bersama dengan Direktorat Pemasaran Luar Negeri – KKP telah memfasilitasi beberapa perusahaan untuk melakukan penilaian awal terhadap kesiapan mereka mendapatkan sertifikasi MSC. Hasilnya menunjukkan adanya nilai-nilai positif pada pengelolaan perikanan di Indonesia yang harus dijaga. Tidak hanya itu, penelitian tersebut juga mengidentifikasi hal-hal terkait penelitian, peraturan perikanan dan implementasinya serta pengembangan kelembagaan perikanan yang perlu diperkuat agar industri perikanan Indonesia dapat meraih sertifikasi ekolabel ini.
Namun, untuk menerapkan standar MSC, diperlukan perubahan mendasar dalam praktek-praktek pengelolaan perikanan di Indonesia. Dalam hal ini, pengelolaan perikanan harus difokuskan pada keberlanjutan sumber daya ikan dan bukannya meningkatkan jumlah produksi tanpa memperdulikan kelestarian stok ikan tersebut seperti yang selama ini banyak dijalankan.
Seperti yang terungkap dalam pertemuan tersebut, perjalanan menuju sertifikasi MSC akan memerlukan waktu yang panjang dan kerja keras oleh semua pihak. Ketua Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Dr. Purwito Martosubroto mengemukakan pentingnya peran pemerintah dalam mendukung upaya pencapaian sertifikasi tersebut.“Keberlangsungan stok ikan bukan hanya tanggung jawab pengusaha sendiri. Dalam pengelolaannya, ada aturan-aturan yang ditetapkan dan harus diikuti di setiap daerah, dan yang memiliki wewenang atas penetapan aturan itu adalah pemerintah. Karena itu, pemerintah memiliki andil besar dalam proses mendapatkan sertifikasi ini," ungkapnya.
Lebih lanjut, Dr. Purwito menekankan perlunya langkah kerja struktural yang harus disusun dengan jelas. Menurutnya, harus dibuat dulu academic paper yang jelas, siapa yang mengerjakan apa, siapa yang bertanggung jawab terhadap apa, serta tanggung jawab strukturalnya masing-masing. Seperti yang telah diagendakan, pertemuan ini juga membahas usulan organogram untuk rencana kerja pengelolaan perikanan tuna Indonesia. Dalam pembahasan ini dijelaskan tugas-tugas setiap lembaga, siapa saja yang bertanggung jawab pada rencana kerja tertentu, langkah-langkah yang harus diambil, dan sebagainya.
Richard Banks yang mewakili WWF dalam aktivitas perbaikan perikanan menekankan agar setiap pihak fokus pada kerangka kerja ini dan meninggalkan kekhawatiran-kekhawatiran yang berlebihan dalam perencanaannya.
Sementara itu, Imam Musthofa, Koordinator Nasional Program Perikanan WWF-Indonesia, dalam presentasinya mencoba mengembalikan pembicaraan kepada kerangka kerja yang sudah disusun. Pertimbangan-pertimbangan mengenai Program Perbaikan Perikanan sudah dibicarakan dalam workshop yang diadakan di Bogor tahun 2010 sebelumnya, sehingga pertemuan ini adalah pertemuan untuk membahas kelanjutan dari rencana kerja yang telah disusun, bagaimana perkembangannya, dan apa langkah selanjutnya.
Blane Olson dari Anova Seafood Group, importir perikanan Indonesia yang mendukung sertifikasi MSC, yakin bahwa Indonesia mampu mendapatkan sertifikasi ini. “Tentu saja banyak pihak yang harus dilibatkan. Kunci agar sertifikasi ini bisa didapatkan adalah adanya dukungan dari semua pihak yang terkait, bekerja sama dengan pengusaha, pemerintah. Jika pemerintah mau melakukan perubahan dengan menetapkan peraturan dan pengembangan program dengan waktu yang terukur serta membangun partnership dengan LSM atau lembaga-lembaga lain, saya yakin semua bisa diwujudkan,” paparnya.
Senada dengan Blane Olson, Direktur Sumberdaya Ikan KKP Agus A. Budhiman juga menggarisbawahi pentingnya dukungan dari pemerintah. Ia meyakinkan peserta pertemuan ini dengan menyatakan dukungannya terhadap konsep MSC untuk keberlangsungan stok ikan dengan berbagai cara. “Kita memahami hal ini penting. Bagaimanapun pengusaha perlahan-lahan akan menyadari bahwa laut tidak boleh “dikuras”. SDI pun telah menerapkan peraturan pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab demi mencapai hasil laut yang sustainable,” pungkasnya.
Langganan:
Postingan (Atom)