Senin, 25 Juli 2011

Masih Berjuang Menjadi Negara Maritim

By: Tenni Purwanti | Tri Wahono | Minggu, 17 Juli 2011 | 22:48 WIB from kompas

KOMPAS.com - Indonesia dengan luas wilayahnya yang sebagian besar lautan, sepantasnya disebut negara maritim. Namun, sebutan negara maritim yang sudah melekat pada masyarakat Indonesia ternyata belum terbukti. Masih banyak yang harus diperbaiki terutama dalam hal eksplorasi kelautan.

Hal ini disampaikan Prof. Jamaludin Jompa dari Coral Reef Rehabilitation and Management dalam forum weekend tentang Konservasi Kelautan Indonesia. "Apa yang menunjukkan kita negara maritim? Penelitian-penelitian kita saja masih terlalu kecil untuk bisa mengetahui potensi maritim yang dimiliki Indonesia," ujar Jamaludin di Newseum, Jakarta, Sabtu (16/7/2011).

Padahal, menurut Jamaludin, Indonesia termasuk ke dalam Coral Triangle, yakni Negara dengan potensi maritim terbesar di dunia. "Di dunia ini, ada tiga besar wilayah yang memiliki potensi maritim terutama terumbu karang terbesar, yakni wilayah Amazon di Amerika, wilayah Congo Basir di Afrika, dan Coral Triangle di Indonesia. Enam puluh persen terumbu karang Indonesia ada di wilayah timur, dengan jumlah lebih dari 500 spesies," jelasnya.

Dr. Yulian Paonganan, Msc, Direktur Indonesia Maritime Institute yang juga hadir dalam forum ini menambahkan, Indonesia memiliki potensi maritim senilai Rp 7 ribu trilyun per tahun. "Angka tersebut bisa didapatkan Indonesia jika potensi maritim dikelola dengan baik. Indonesia adalah negara dengan hasil alam yang besar, namun tidak bisa mengolahnya. Hampir 90 persen potensi migas kita dikelola asing. Bahkan mungkin tidak banyak yang tahu kalau Raja Ampat adalah penghasil nikel terbesar di dunia. Kapal Sinar Kudus yang dibajak kemarin juga membawa nikel Indonesia senilai Rp 6,5 trilyun, padahal baru berupa kapal kecil," ujarnya.

Yulian menambahkan, sayangnya pelaksanaan konservasi kelautan Indonesia masih berbentuk parsial. "Indonesia masih terkotak-kotak dengan desa, kecamatan, kabupaten, padahal pengelolaan sumber daya alam harus terintegrasi, bukan parsial. Contohnya, apa yang dilakukan di gunung, akan berpengaruh di laut. Tapi tidak banyak masyarakat atau aparat pemerintah yang tahu sampai sejauh ini," tambahnya.

Irwan Mulyawan dari Ikatan Sarjana Kelautan, dalam forum ini menambahkan, masalah otonomi memang menjadi salah satu masalah maritim di Indonesia. "Hal-hal yang menyebabkan Indonesia masih jauh dari istilah negara maritim adalah karena tumpang tindihnya masalah otonomi. Para pejabat di daerah masih belum bersinergi untuk mengelola kelautan secara bersama-sama. Selain itu, belum adanya pendanaan khusus untuk pengelolaan. Tapi pengelolaan juga butuh penelitian dan penelitian ini masih sangat minim karena belum ada indikator yang efektif untuk mengukur keseimbangan ekologi," ujar Irwan.

Prof. Jamaludin juga menyampaikan bahwa masalah utama sulitnya Indonesia menjadi negara maritim adalah masalah penelitian. "Kemampuan riset dan teknologi Indonesia masih jauh dari negara lain. Maritim Indonesia masih terlalu misteri untuk dikelola dengan mudah. Indonesia banyak mengalami pencurian karena penelitian yang kurang. Kita tidak tahu bahwa potensi alam kita sudah dicuri oleh negara lain karena pengetahuan kita akan kekayaan laut sangat kurang. Oleh karena itu, masalah fundamental yang harus dibenahi sekarang ini adalah memahami kekayaan laut Indonesia," jelas Jamaludin.

Sementara Yulian menambahkan, Indonesia juga sering melakukan penelitian yang tidak berkelanjutan. "Banyak penelitian yang tidak berkelanjutan. Padahal hasil penelitian harus berupa aplikator agar bisa dipakai untuk eksplorasi. Namun kenyataannya, berapa banyak penelitian mahasiswa yang berhenti setelah mendapat gelar sarjana? Bagaimana dengan pembangunan dermaga yang masih setengah jadi sudah ditinggalkan? Contoh-contoh seperti ini harus menjadi perhatian. Aktivis, akademisi, dan penentu kebijakan di Republik ini harus nyambung. Ketiga elemen ini harus bekerja sama agar penelitian bisa berkelanjutan, diaplikasikan, sekaligus diawasi," ungkapnya.

Prof. Jamaludin mengungkapkan bahwa CTI (Coral Trader Inisiative) bisa diberlakukan di Indonesia. "Seharusnya sebagai wilayah dalam Coral Triangle, Indonesia bisa menjual terumbu karang lebih banyak, namun sekali lagi, hanya apabila dikelola dengan baik. Ada lima hal yang harus diperhatikan agar kita berhasil dalam CTI, yakni bentang laut dikelola secara bersama-sama, bukan per desa atau per kabupaten karena laut merupakan satu kesatuan.

Kedua, Indonesia harus lebih paham isi laut sebelum mengelola ekosistem. Ketiga, kelola kawasan konservasi laun dalam konteks networking (peneliti-aktifis-penentu kebijakan-pebisnis-masyarakat). Keempat adanya kesadaran bahwa spesies harus segera diperbaiki karena keragaman genetika adalah masa depan populasi manusia.

Terakhir, Indonesia harus peduli bahwa perubahan iklim sudah terjadi di laut Indonesia, misalnya dengan terjadinya coral bleaching di mana warna terumbu karang berubah karena polusi sehingga sulit untuk dijual.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar