Minggu, 04 Desember 2011

Artefak Kapal Karam di Laut Karibia

vivanews.com Tim ekspedisi Deeptrek berhasil mengangkat sejumlah artefak yang diduga peninggalan perang antara armada Inggris melawan pasukan penakluk Spanyol di perairan Karibia di Portobelo, Panama. Dua kapal yang karam di lokasi tersebut kemungkinan adalah armada yang bertempur di bawah komando Laksamana Muda Sir Francis Drake sebelum dia meninggal pada 1596.


Seorang anggota tim Deeptrek menyelam di dekat puing-puing kapal karam di Portobelo, Panama, Sabtu (29/10/2011). Foto: REUTERS/ Rico Oldfield/ Deeptrek-IMDI Eco Olas


Presiden Deeptrek, Jay Usher, memperlihatkan kepala kapak milik pasukan penakluk Spanyol yang ditemukan di sisa-sisa kapal karam di Panama, Selasa (01/11/2011). Foto: REUTERS/ Sean Mattson


Seorang anggota tim Deeptrek menyelam di dekat puing-puing kapal karam di Portobelo, Panama, Sabtu (29/10/2011). Foto: REUTERS/ Rico Oldfield/ Deeptrek-IMDI Eco Olas


Presiden Deeptrek, Jay Usher, memperlihatkan potongan baju besi milik pasukan Spanyol yang ditemukan di sisa-sisa kapal karam di Panama, Selasa (01/11/2011). Foto: REUTERS/ Sean Mattson


Arkeolog James Sinclair mengukur jarak antara lokasi puing-puing kapal karam dari pantai Karibia, Rabu (19/10/2011). Foto: REUTERS/ Rico Oldfield/ Deeptrek-IMDI Eco Olas

Letusan Krakatau dalam Catatan



KOMPAS.com — Saat letusan Gunung Krakatau tahun 1883, teknik pendokumentasian canggih seperti sekarang belum ada. Sekalipun seismograf mulai dikembangkan, belum ada jaringan yang mendunia, apalagi seismograf yang beroperasi dalam radius 5.000 kilometer dari Krakatau ataupun teknologi satelit.

Rekaman suara, seperti telepon dan radio, telah ditemukan, tetapi belum digunakan di belahan timur dunia. Teknologi film sudah lahir, tetapi belum fleksibel dan mudah dibawa seperti saat ini. Keterbatasan ini membuat dokumentasi melalui tulisan lebih banyak tersedia. Korespondensi, jurnal, dan berita koran merupakan rekaman utama peristiwa letusan Krakatau.

Catatan-catatan dikumpulkan oleh Tom Simkin dan Richard S Fiske dalam bukunya, Krakatau 1883: The Volcanic Eruption and Its Effects. Sementara satu-satunya tulisan pribumi tentang letusan itu termuat dalam "Syair Lampung Karam" yang dialihaksarakan Suryadi Sunuri. Berikut beberapa ringkasan catatan tersebut.

Catatan Kapten Johan Lindeman yang membawa Kapal Governor General Loudon melalui Selat Sunda. Kapal berangkat dari Batavia membawa rombongan sebanyak 86 penumpang menuju Krakatau.

Minggu, 26 Agustus 1883, kapal mulai dihujani abu dan batu apung. Angin mulai bertiup kencang dan kapal berjuang melewati Krakatau, lalu melepas jangkar di dekat Teluk Betung, Lampung. Senin, 27 Agustus, sekitar pukul 7 terlihat gelombang besar yang kemudian tumpah dan menyapu daratan. Dengan tenaga uap, kapal menuju Anyer, sementara hujan lumpur dan abu membuat lapisan tebal dan orang sulit bernapas. Suasana semakin gelap, dan pukul 10.30 pagi kegelapan total segelap malam menyelimuti. Disusul angin topan dan gelombang tinggi setinggi surga (langit) dan membuat orang-orang khawatir bakal terkubur gelombang, namun kapal terus melaju dengan kepala kapal menghadap ke gelombang. Sore hari, angin mereda. Kegelapan menyelimuti hingga subuh pukul 4 keesokan harinya, 28 Agustus. Hari itu, sekitar pukul 6.50 sore, sampai dengan selamat di Teluk Bantam. Dalam perjalanan pulang itu, terlihat bagian tengah Krakatau telah menghilang.

Laporan koran Java Bode. Senin 27 Agustus 1883, tiba-tiba, sekitar pukul 9, langit menjadi gelap. Orang-orang tidak bisa melihat dalam jarak dekat dan lilin-lilin pun dinyalakan. Abu mulai berjatuhan, sementara langit di bagian barat tampak cahaya kekuningan. Telegram pertama diterima dari Serang yang mengabarkan letusan Krakatau. Letusannya terdengar dan pijaran apinya terlihat pada malam hari di Serang. 28 Agustus 1883, dari Serang datang kabar kondisi hujan abu dan korban jiwa di Anyer.

GF Tydemann adalah seorang letnan kapal perang Koningin Emma der Nederlander. Tydemann menceritakan kedatangan tsunami. Pukul 9.30 pagi, kegelapan mulai menyelimuti. Tekanan udara di dalam kapal berubah drastis, menimbulkan tekanan aneh di telinga. Sementara itu, hujan abu semakin tebal. Bukan tekanan angin ternyata, melainkan tekanan air yang mengganggu kapal hingga pukul 12.00 siang. Air mulai naik dengan cepat sebelum sore hari. Begitu cepat dan tingginya sehingga segera menyapu bagian atas dermaga. Dan tiba-tiba air bergulung menuju permukiman, dari sana terdengar teriakan dan tangis ketakutan. Orang-orang dalam paniknya berusaha memanjat apa pun yang mengambang, ke kapal-kapal di dermaga, kapal uap pemerintah Siak, dan akhirya juga ke kapal Tydemann.

Satu-satunya kesaksian pribumi ditulis Muhammad Saleh dalam bentuk "Syair Lampung Karam". Ahli filologi dan dosen/peneliti di Universitas Leiden, Suryadi Sunuri, mengalihaksarakan naskah yang aslinya ditulis dalam bahasa Arab-Melayu (Jawi). Setelah meneliti syair itu, Suryadi berpendapat, pengarang menulis syair itu di Kampung Bengkulu yang kemudian dikenal sebagai Bencoolen Street di Singapura. Muhammad Saleh menyatakan datang dari Tanjung Karang, Lampung, dan mengaku menyaksikan langsung malapetaka akibat letusan Krakatau. Boleh jadi Saleh mengungsi ke Singapura lantaran bencana itu. Berikut penggalan syairnya yang menceritakan kedahsyatan letusan Krakatau:

….

Di dalam hal demikian peri,
Berbunyi meriam tiga kali,
Kerasnya itu tidak terperi,
Bertambah gentar seisi negeri.
Isi negeri sangat ketakutan,
Kerasnya bunyinya tiada tertahan,
Turunlah angin sertanya hujan,
Mengadang mata umat sekalian
Banyaklah lari membawa hartanya ,
Di dalam perahu, sampan, koleknya,
Dipukul gelombang hilang dianya
Harta, perahu, habis semuanya.
....

Kepiting Berambut Bisa "Bertani" di Laut Dalam

OREGON, KOMPAS.com - Tahun 2006, ilmuwan menemukan spesies kepiting buta yang hidup di celah resapan metana 1.000 meter di bawah permukaan laut Kosta Rica. Dalam publikasi di jurnal PLoS ONE, Rabu (30/11/2011), Andrew Thurber, ilmuwan yang mengidentifikasi, mendeskripsikannya sebagai Kiwa puravida, berarti kehidupan murni.



Spesies itu merupakan spesies kedua dari golongan kepiting yeti, yakni kepiting yang punya lengan-lengan panjang dan berambut. Sebelumnya, ditemukan spesies kepiting putih buta (Kiwa hirsuta) di kedalaman 2.300 meter laut dekat wilayah Easter Island.

Andrew Thurber, peneliti biologi kelautan dari Oregon State University, AS, mengungkapkan bahwa hal yang paling menarik dari Kiwa puravida ialah kemampuannya "bertani". Ini diketahui ilmuwan ketika melakukan pengamatan dengan kamera.

Lengan Kiwa puravida selalu bergerak. Gerakan ternyata bisa mengumpulkan nutrisi, oksigen dan belerang. Akibat gerakan, lengan kepiting pun menjadi wilayah kaya nutrisi, yang lalu menjadi lahan empuk bagi bakteri untuk tumbuh. Kepiting kemudian memanen bakteri yang tumbuh sebagai makanan.

Dengan kemampuan kepiting bertani, Thurber mengatakan, "Kami menunjukkan dengan jelas bahwa spesies ini tidak menggunakan energi dari Matahari sebagai sumber makanan utama. Dia menggunakan energi kimia yang berasal dari dasar lautan."

Salah satu sumber makanan di laut adalah fitoplankton, biota yang hidup dengan berfotosistesis layaknya tumbuhan di darat, membutuhkan sinar matahari. Karena tak memakannya, maka Kiwa puravida tidak membutuhkan energi dari Matahari.

"Penemuan ini menunjukkan betapa sedikitnya kita tahu tentang laut dalam, betapa banyak yang harus kita temukan dan lindungi ketika ekspansi eksploitasi sumber daya telah sampai ke area ini," ungkap Thurder.

Telur Penyu "Bicara" Sebelum Menetas

SYDNEY, KOMPAS.com — Spesies penyu sungai Australia (Emydura macquarii) meletakkan sekumpulan telur di pasir sungai. Telur yang berada di bawah perkembangannya lebih lambat daripada yang di atas. Namun, telur di kedua bagian itu ternyata menetas bersama.



Ricky-John Spencer dari University of Western Sydney di Australia penasaran dengan fakta tersebut. Ia menduga bahwa telur-telur tersebut "saling bicara" terlebih dahulu sebelum menetas.

Untuk membuktikan dugaannya, ia merancang eksperimen. Spencer membagi sejumlah telur menjadi dua bagian. Satu bagian diinkubasi di suhu lebih yang tinggi, sedangkan bagian lain diinkubasi di suhu lebih yang rendah. Setelah dua pertiga masa perkembangan telur, keduanya lalu disatukan kembali.

Hasil menunjukkan bahwa kedua bagian telur tetap menetas dalam waktu bersamaan. Ketika dipersatukan, telur yang lebih lambat perkembangannya mengejar sehingga bisa menetas di waktu yang sama.

Menurut Spencer, kedua bagian telur itu mungkin berkomunikasi secara kimia. "Telur itu sebenarnya bernapas. Mereka menghirup oksigen dan mengeluarkan CO2," katanya seperti dikutip New Scientist, Rabu (30/11/2011).

Spencer menjelaskan bahwa telur yang lebih cepat perkembangannya akan mengeluarkan CO2 lebih banyak. Konsentrasi CO2 ini yang menjadi semacam "panggilan" sekaligus pemicu agar telur lain lebih cepat berkembang.

Hasil penelitian Spencer dipublikasikan di Proceeding of the Royal Society B edisi terbaru November 2011. Spencer menjelaskan bahwa menetas bersama sangat penting bagi kesintasan penyu. Hal itu akan memastikan individu yang rentan terlindungi dari predator. Mereka memiliki teman yang melindungi.